Seperti sering dipesankan pak Harmoko dalam berbagai kesempatan, bidang organisasi kader dan keanggotaan perlu dikedepankan. Kaderisasi hingga di level terbawah menjadi penting untuk membangun loyalitas, integritas dan moralitas.
Ada filosofi seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang lahir dari “rahim” rakyat, tumbuh dan berkembang bersama rakyat. Mereka inilah yang mengetahui denyut nadi rakyat, tahu persis derita rakyat, kebutuhan rakyat, lebih tahu solusi jitu mengangkat harkat dan martabat rakyat.
Jika mereka kader parpol yang merangkak dari bawah, dari akar rumput, sehari-hari bergaul bersama rakyat, mereka ikut membantu menyelesaikan problema rakyat.
Karena lahir dan besar bersama rakyat, maka sudah dikenal cukup baik oleh rakyat. Sudah teruji. Jika maju sebagai sebagai calon kepala daerah tidak perlu lagi biaya tinggi karena telah meraih simpati. Bahkan, rakyat akan sukarela mengawal pilkada jurdil dari TPS hingga hasil akhir.
Yang kedua, mengevaluasi secara total pilkada langsung dengan mengembalikan mekanisme pemilihan kepada lembaga legislatif, untuk pilkada kabupaten/kota.
Sementara pemilihan gubernur tetap dilakukan secara langsung, tentu dengan beberapa perbaikan, di antaranya memperketat rekrutmen para calon baik yang dilakukan parpol pengusung maupun KPUD.
Wacana pilkada kabupaten/kota melalui DPRD, boleh jadi akan menuai kontroversi karena dinilai sebuah kemunduran demokrasi. Ini dapat dipahami karena hak suara yang sebelumnya diberikan langsung, akan diamanatkan kepada wakilnya di DPRD.
Tetapi demokrasi juga perlu melihat proses dan hasilnya. Jika proses pemilihan diwarnai jual beli suara, adanya tekanan politik uang dan kekuasaan, dan yang sering terjadi menimbulkan disintegrasi di tengah masyarakat, apakah bisa disebut demokratis dan sesuai dengan asas Pancasila? Begitupun jika hasil pilkada tidak banyak membawa perubahan dan kebaikan, apakah sebuah kemajuan.
Lihat juga video "Tilap Uang Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kepala Desa di Lebak Ditangkap". (youtube/poskota tv)
Pilkada melalui DPRD memang belum menjamin sepenuhnya hilangnya politik transaksi, tetapi setidaknya menekan mahalnya biaya politik yang berarti memperkecil perilaku korupsi. Di samping mengurangi potensi konflik di tengah masyarakat.
Ini menjadi renungan bersama, termasuk mengevaluasi pileg langsung, yang tak acap memunculkan kader "karbitan" dan "kacangan". ( Azisoko *)