“Saya langsung tergerak untuk berbuat. Tidak saja untuk menyelamatkan manusia, tapi juga menyelamatkan lingkungan akibat merkuri,” tegasnya.
Begitu Doni Monardo turun tangan, ada saja kolega maupun rekannya sesama anggota TNI yang mengatakan, “Ngapain urus yang begitu-begitu. Itu bukan tanggung jawab tentara. Tugasmu cukup menyiapkan pasukan menghadapi operasi militer,” kata Doni menirukan “nasihat” rekannya.
Prinsip Doni, tidak masalah jika ia tidak membantu, tapi harus ada yang membantu.
Sementara Presiden sudah memerintahkan penertiban penambang illegal, apalagi yang menggunakan merkuri. Itu perintah bulan Mei 2015, sedangkan Doni dilantik menjadi Pangdam di Maluku Agustus 2015.
Toh, ia melihat, tidak satu pun aparat daerah yang bergerak menertibkan. Sementara korban terus berjatuhan, dan penggunaan merkuri terus merajalela.
Doni langsung menugaskan Kakesdam untuk mengambil sampel ikan, kepiting, dan cumi dan beberapa jenis hewan laut di parairan Pulau Buru.
Hasilnya, kadar merkuri dan sianida dalam ikan-ikan yang diperiksa tadi telah melampaui ambang batas. Sangat tidak layak dikonsumsi. Itu semua karena limbah merkuri di penambangan emas tadi.
Yang lebih dahsyat, buaya-buaya pun ikut mati gara-gara merkuri. Termasuk ternak peliharaan rakyat.
“Saya tidak bisa tinggal diam. Jika dibiarkan, maka prajurit saya termasuk anak-anak dan istrinya, bisa jadi korban juga. Bahkan saya pun bisa jadi korban,” kata Doni.
Doni melakukan banyak langkah, dipuncaki dengan melapor ke Presiden Joko Widodo. Ujungnya adalah pengesahan UU No 11 Tahun 2017, tentang Pengesahan Minamata Convention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri).
Meski sudah ada UU, tapi praktiknya perusakan ekosistem masih berlangsung.
Sebagian penambang liar misalnya, tidak peduli ancaman merkuri asal bisa mendapatkan uang dalam waktu cepat. Mereka tidak sadar, bahwa wanita hamil yang kemudian melahirkan bayi cacat fisik, itu akibat dari asupan makanan dan minuman yang tercemar merkuri.