Dirjen PPI: Ada Kemajuan Besar di KTT Perubahan Iklim PBB di Glasgow, Prosedur dan Narasi untuk bahas Isu Krusial Disepakati

Minggu 07 Nov 2021, 03:01 WIB
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian LHK, Laksmi Dhewanthi.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian LHK, Laksmi Dhewanthi.

Menurut Dirjen PPI Laksmi Dhewanthi, negosiator Indonesia  sudah menyampaikan apa yang menjadi harapan Indonesia, ekspektasinya seperti  apa  dan posisi Indonesia sudah disampaikan dan sudah terefleksikan dalam perkembangan  di COP 26 ini. 

“Jadi kita melihat basis teksnya apa yang kita butuhkan untuk negosiasi, kemudian prosedurnya juga kita sampaikan apa yang menjadi keinginan Indonesia,” tandas Laksmi.

Dikemukakan Laksmi Dewanthi, delegasi Indonesia membagi  12 kelompok negosiasi. Sebab selain isu-isu krusial juga ada isu-isu lain yang perlu dinegosiasikan. Dalam satu kelompok negosiasi, terdapat rata-rata 2-3 orang . Ada juga satu kelompok negosiasi yang terdiri atas 4-5 orang. dari unsur kementerian, lembaga dan pemangku kepentingan. 

Saatnya Implementasikan Paris Agreement 
Menurut Laksmi, Pelaksanaan COP26 di Glasgow Inggris ini sangat penting mengingat ini, pertama,  hajat yang tertunda karena pandemi Covid-19, yang semestinya dilakukan pada November 200. Kedua, persetujuan Paris atau Paris Agreement ini mulai berlaku pada 1 Januari 2021.

Untuk bisa memastikan mengimplementasikan  Paris Agreement dan target-targetnya,   tentu saja dibutuhan kelengkapan pedoman turuan dan aturan implementasinya (Paris Rules Book).  

“Jadi COP 26 ini penting karena inilah waktunya di mana negara-negara pihak dapat menyelesaikan perundingan untuk bisa mendapatkan Paris Rules Book,” tegas Laksmi.

Lebih lanjut Laksmi menjelaskan, sejumlah isu-isu krusial berusaha untuk diselesaikan dalam pelaksanaan COP26 ini. Pertama, operasionalisasi dari artikel 6  Perjanjian Paris atau Paris Agreement yakni terkait instrument pasar dan nonpasar (market-nonmarket ) atau  carbon pricing pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.

Kedua, lanjut Laksmi, kerangka waktu pelaporan  NDC atau Common Time Frame for NDC. Jadi negara-negara harus sepakat kapan waktu yang pas untuk bisa melaporkan capaian NDC-nya. Aadperiode waktu apakah 5 atau 10 tahun sekali dan ini yang sedang dirundingkan.

Selanjutnya ketiga, mengenai metodologi. Hal ini terkait bahwa NDC adalah dokumen komitmen, sehingga NDC harus  bisa ditelusuri, atau  di-track dan dilaporkan.

Untuk bisa menelusuri dan melaporkan NDC dibutuhkn ksepakatan, bagaimana format pelaporann elektronik terkait implementasi aksi mitigasi, aksi adaptasi, dan dukungan finansial,peningkatan kapasitas, dan teknologi (Common Reporting Format, Common Reporting Tables). Jika laporannya beberda beda, agak sulit disintesakan.

“Keempat,  Global Goal on Adaptationatau kesepakatan untuk mendefinisikan tujuan global adaptasi,” katanya.

Sedangkan isu krusial kelima yakni finance atau pendanaan .  Ini ada dua hal penting dalam kaitan pendanaan. Pertama, bagaimana kita bisa memastikan rencana rencana atau janji negara maju untuk membantu negara berkembang yang sejak lama dijanjikan tapi belum dipenuhi.

Berita Terkait
News Update