TERDAPAT dua sahabat, sebut saja namanya Yudi dan Heri. Keduanya dari kampung yang sama, sekolah bersama – sama hingga SMA.
Keduanya bagaikan sudah manunggal. Menganggap apa yang menjadi milikku adalah milikmu. Milikmu, milikku juga seperti motor butut dipakai berdua kemana saja, ke sekolah,kadang dipakai ngapel (kunjungi pacar) bergantian.
Makan sepiring berdua sudah biasa. Tetapi, bukan sepiring berdua bagaikan sepasang kekasih sedang memadu cinta. Bukan. Ini makan sepiring berdua karena hanya mampu beli sepiring untuk dimakan berdua.
Itu dulu, sekarang ceritanya lain lagi. Sepuluh tahun kemudian, setelah keduanya meninggalkan kampung halaman, ketemu lagi di Jakarta, sama – sama sudah berkeluarga. Hidup berkecukupan, terpandang dan dermawan.
Eh.. gak taunya punya rumah di kompleks (kawasan) yang sama. Satu RW, beda RT. Ini bukan kebetulan karena kata orang di dunia ini tak ada yang kebetulan. Semuanya sudah diatur yang Maha Kuasa.
Karenanya, orang jawa biasanya mengistilahkan “ ndilalah kersane Allah” – sesuatu yang tercipta karena kehendak Tuhan. Itu pula pertemuan kembali kedua sahabat.
Saat pemilihan ketua RW, keduanya dicalonkan oleh warga RT nya masing – masing. Ini diketahui ketika setiap RT bikin spanduk mencalonkan kandidatnya.
Keduanya bingung. Berniat mundur dari pencalonan karena ga enak hati bertarung dalam pemilihan dengan sahabatnya sendiri, tetapi warganya makin mendesak untuk tetap maju. Belum lagi para pembisiknya, tim suksesnya.
Maklum keduanya tokoh masyarakat yang sangat disegani..
Tibalah saatnya pemilihan. Ada tiga calon, dua orang sahabat itu dan satu calon lain.Ternyata kedua sahabat ini tidak terpilih. Yang terpilih orang lain yang oleh warga diajukan sebagai penyeimbang.
Adakah yang salah? Jawabnya ada. Menurut analis politik pemilihan ketua RW, warga bingung mau memilih pak Yudi atau pak Heri. Keduanya sama – sama kualitasnya, sama- sama bagusnya. Sama baiknya dengan warga sekitar, tak hanya suka membantu,juga menyelesaikan jika ada warga punya masalah, siapa pun adanya.