ADVERTISEMENT

Hukuman Mati Jargon Politik Jaksa Agung, Pakar Ajari Asas Legalitas UU Tipikor

Kamis, 4 November 2021 19:27 WIB

Share
Kondisi Gedung Kejagung usai kebakaran pada Agustus 2020. (foto: ist)
Kondisi Gedung Kejagung usai kebakaran pada Agustus 2020. (foto: ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Wacana penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin bukanlah opsi solutif dan efektif dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Bahkan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyebut apa yang disampaikan Burhanuddin hanyalah sebuah jargon politik untuk mempertahankan eksistensinya.

Kurnia beralasan, hal ini disebabkan penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung belum optimal dan berkualitas. "Entah itu presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung), pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik," ujar Kurnia kepada wartawan Kamis 4 November 2021.

Apalagi, lanjut Kurnia, penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung masih memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi.

"Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," lanjutnya.

Dari permasalahan tersebut, ICW pun mempertanyakan apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia. Pun mempertanyakan apakah kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor.

Ia pun mengatakan bahwa faktanya hal itu belum terjadi dan masih banyak yang harus diperbaiki. "Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhayksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari," katanya.

Hal ini dibuktikan saat Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Menurutnya, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi.

"Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi," kata dia.

Kurnia mengatakan, bahwa dalam catatan ICW hukuman penjara masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.

"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun," lanjut Kurnia.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT