Cucu: "Loh, kok kakek bisa bisa bilang begitu?”
Kakek pun menjelaskan. Hidup di dunia memang harus saling mengingat cucuku. Tentu mengingatkan hal – hal yang buruk menjadi baik. Dari yang salah menjadi benar. Dari yang bengkok menjadi lurus. Dari yang tinggi hati menjadi rendah hati. Dari yang keras menjadi lembut. Dari yang pemarah menjadi ramah.
Tetapi semuanya harus dilakukan dengan penuh ketulusan, kelembutan dan keramahan. Tidak boleh keras dilawan dengan sikap keras. Sekeras apapun sikap seseorang, pada akhirnya akan luluh dengan kelembutan.
Kalau seseorang bersikap sok jagoan, sok hebat dan bertindak sewenang – wenang, maka lawanlah dengan kelembutan. Jika kamu melawan dengan kekerasan, bukan luluhnya seseorang yang sok jagoan, tetapi akan muncul dua orang yang bersikap sok jagoan.
Jika ini dilakukan secara terus menerus, bukan hanya oleh kamu, juga teman – teman kamu, maka akan muncul orang – orang lain lagi, lain lagi dan lain lagi yang sok hebat, dan bersikap sewenang – wenang. Ini yang harus dicegah.
Lagi pula buat apa bersikap sok hebat, sok kuasa, sok kaya dan sok, sok yang lain yang bermaksud mengunggulkan kehebatan diri sendiri. Sekalipun memiliki semuanya itu, hebat, kaya, kekuasaan, tidak lantas dipamerkan di depan banyak orang untuk mendapatkan pengakuan.
Apalagi kehebatan, kekuasaan dan kekayaan yang dipunyai bukanlah milik diri sendiri, bukan hasil capaian prestasinya, tetapi milik orang tuanya, milik saudaranya.
Kalau sudah demikian, lantas apa yang mau dibanggakan tentang kehebatannya. Boleh bangga kalau buah karya sendiri.Lagi pula segala sesuatu, identitas yang melekat, baik itu kehebatan karena pangkat, jabatan, kekuasaan dan harta kekayaan sifatnya sementara.
Karena itu, tidaklah pantas menjual identitas, apalagi numpang identitas orang lain. Hendaknya kita tetap rendah hati. Tak perlu pamer dan menjual identitas, karena yang terpenting adalah kualitas. (Jokles)