Semua masih ingat, bagaimana penggelembungan ekonomi melalui rekayasa keuangan terjadi. Ketika krisis terjadi, di negara yang mengharamkan campur tangan negara, dan lebih percaya pada mekanisme pasar pun akhirnya bertekuk lutut, lantas meminta campur tangan negara di dalam mengatasi krisis.
Di tengah krisis ini muncul perdebatan terhadap tanggung jawab etis kaum profesional. Mereka boleh jadi non partisan, namun kemampuan rekayasa finansial yang dilakukan mampu meluluh-lantakkan sistem perekonomian pasar.
Apa yang terjadi di Amerika serikat dan Eropa Barat sepertinya mengulang krisis moneter yang diikuti berbagai krisis multidimensi di Indonesia pada tahun 1997. Krisis tersebut menyebabkan pak Harto mundur dari kursi kekuasaan.
Semua akibat nepotisme, kolusi, dan korupsi yang melekat dalam kekuasaan yang otoriter selama Orde Baru berkuasa. Krisis yang melengserkan Pak Harto tersebut, dalam perspektif spiritual memang ada yang menilai sebagai karma politik atas apa yang pak Harto lakukan terhadap Bung Karno.
Namun dalam perspektif keadilan sosial, krisis yang terjadi akibat makna yang terkandung dalam keadilan sosial tersebut tidak bekerja dalam sistem kekuasaan yang otoriter. Keadilan sosial sebagai falsafah, landasan kebijakan, tujuan, dan instrumen kebijakan memang dilarang untuk dibahas pada masa itu.
Keadilan sosial berangkat dari pandangan kritis. Keadilan sosial mengandung sikap kritis di dalam melihat struktur sosial yang tidak adil akibat penjajahan. Berbicara keadilan sosial dalam diskursus pemikiran saja memerlukan syarat berpikir kritis. Teori yang dipakai pun bersifat kritis.
Pelaksanaan teori dalam praktek bersifat progresif. Sebab seluruh suasana kebatinan para pendiri bangsa ketika merumuskan keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila muncul dari kesadaran bahwa penjajahan telah menciptakan struktur kekuasaan, dan tata struktur perekonomian yang menghisap. Struktur yang tidak adil inilah yang harus diubah secara progresif-revolusioner.
Ketika berbicara tentang sifat progresif-revolusioner, hakekatnya memang membongkar dan menjebol. Proses dialektik tersebut dilakukan dengan kesadaran terhadap nilai-nilai lain yang terkandung dalam Sila Pancasila.
Jalan Pancasila inilah yang menjadi rel, menjadi bingkai, terhadap arah kemajuan bangsa bagi terwujudnya seluruh cita-cita sosial tersebut. Sayang sekali, di zaman Orde Baru, berbicara tentang keadilan sosial dianggap kiri. Padahal dalam terminologi politik, kanan itu adalah establishment, kemapanan, konservatif.
Sementara kiri itu justru progresif. Ketika terminologi politik dimasuki kepentingan kekuasaan, maka makna progresif yang sebenarnya positif menjadi negatif.
Keadilan sosial seharusnya dipandang dalam keseluruhan falsafah, nilai, tujuan, kultur, dan instrumen kebijakan. Keadilan harus dimulai dari desain kebijakan publik.
Ketika kebijakan pemerintah, yang seharusnya ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia, sudah diawali dengan kebijakan pilih kasih terlebih demi kepentingan elektoral, lalu terjadi manipulasi data, maka meski baru dalam desain kebijakan, di situ aspek keadilan sosial sudah tidak terpenuhi.
Karena itulah hakekat keadilan sosial seharusnya dimulai dari desain kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan, apakah “keadilan” tersebut benar-benar sudah bekerja.