DUA minggu yang lalu tepatnya Rabu 13 Oktober saya berkesempatan singgah ke air terjun Madakaripura di Probolinggo, selepas menyelesaikan ziarah Wali Songo di Sunan Ampel, Surabaya. Madakaripura adalah tempat menyepinya Mahapatih Gajah Mada.
Dari beliaulah cikal bakal pemersatuan wilayah Nusantara melalui Sumpah Palapa.
Di era pergerakan dikenal “Soempah Pemoeda” yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928. Momen bersejarah, di mana para pemuda dengan gigih dan semangat juang yang tinggi menyatukan bangsa Indonesia, menyongsong Indonesia merdeka hingga terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti sekarang ini.
Di era kini, perlu konsistensi para pemuda melanjutkan perjuangan para leluhur dan pendiri bangsa untuk bersatu demi terwujudnya suatu bangsa besar yang adil, makmur dan sejahtera.
Pemuda sekarang janganlah apatis terhadap situasi kini yang masih jauh dari harapan dimana masih banyak ketidak adilan dan kesenjangan ekonomi.
Kita harus tetap optimis, terus berkarya dengan tujuan kemandirian kebesaran kesejahteraan bangsa dan serta tidak melupakan budaya lokal nusantara.
Kita juga harus pandai menyaring budaya dan paham asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa dan paham ideologi Pancasila.
Bukan sebaliknya mendewakan budaya asing dan menjadikan paham asing sebagai tameng yang menjurus kepada embrio permusuhan dan perpecahan.
Sebagai pemuda di era kekinian, hendaknya terus menyebarkan kebaikan dan bahu membahu dengan saudara kita setanah air.
Jangan mau dipecah belah oleh kepentingan politik yang bersifat sesaat dan transaksional terutama menjelang pemilihan 2024.
Bung Karno, sejak awal telah mengingatkan "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Meski pesan sang founding fathers disampaikan pada tahun 1961, tetapi masih tetap relevan utamanya dalam membangun bangsa dan negara di saat sekarang, esok dan masa yang akan datang.
Perjuangan dimaksud, tentu bukan kontak senjata, perang fisik di medan laga sebagaimana para pejuang mengusir penjajah lakukan.
Tetapi memberantas perilaku menyimpang seperti korupsi, manipulasi, pungli, gratifikasi.
Kalau pun disebut penjajah adalah penjajah hak asasi, penjajah keadilan dan kekuasaan.
Memerangi penebar fitnah, penyebaran berita hoax yang dinarasikan sedemikian rupa untuk memprovokasi.
Belum lagi sikap mau menang sendiri, benar sendiri tanpa mau menghargai perbedaan seperti diamanatkan falsafah bangsa kita, Pancasila.
Perilaku seperti inilah yang harus ditangkal karena menghambat terwujudnya keadilan dan kemakmuran, tentu makmur yang berkeadilan sebagaimana cita-cita negeri ini sejak didirikan.
Siapapun pelakunya yang boleh jadi teman, saudara kita, relasi, tetangga kita, harus dihentikan. Inilah yang tersulit melawan bangsa sendiri, jika makin jauh dari nilai kejuangan, malah bisa terseret arus penyimpangan.
Namun saya meyakini, pemuda era kini, generasi milenial dan digital memiliki cukup kemampuan menangkal perilaku menyimpang, seperti ditulis pak Harmoko lewat rubrik kopi pagi berjudul “Banyak yang bisa kau berikan” edisi Senin (2/11/2020).
Pak Harmoko menjelaskan melalui penguasaan teknologi digital kian memudahkan menggerakkan partisipasi masyarakat memperkuat jati diri bangsa, memantapkan nilai kejuangan serta memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Dengan mengemas konten kreatif melalui kanal-kanal medsos dapat melawan berita hoax, mengikis embrio disintegrasi, perselisihan dan beda pendapat tak berkesudahan.
Mari perkokoh persatuan di atas keberagaman. Pepatah Jawa mengatakan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” – Hidup rukun akan sentosa, jika selalu bertikai akan bercerai-berai. (Azisoko *)