Oleh Irdawati, Wartawan Poskota
POLRI belakangan ini banyak menuai sorotan publik. Ini sebagai dampak dari penanganan kasus di beberapa daerah yang dinilai tidak mencerminkan rasa keadilan. Sorotan semakin tajam ketika oknum kepolisian di lapangan tidak profesional dalam menjalan tugas, bahkan ada indikasi melanggar HAM.
Beberapa kasus yang menuai kritikan publik antara lain, penghentian kasus dugaan pemerkosaan anak di bawah umur di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Buntutnya, muncul tagar #PercumaLaporPolisi yang kemudian menjadi ajang ‘curhat’ warga yang tidak puas dengan kinerja Polri. Lalu kasus wanita pedagang dianiaya preman di Sumatera Utara, malah jadi tersangka. Viralnya kasus ini membuat kapolsek dicopot.
Dalam menghadapi unjukrasa belum lama ini di Tangerang, Banten, polisi juga disorot. Seorang mahasiswa dibanting oknum polisi hingga harus di rumah sakit. Polisi pun kembali jadi bulan-bulanan dikritik. Kasus-kasus di atas cukup mencerminkan masih banyaj polisi yang tidak profesional. Ibarat fenomena gunung es, bisa jadi data yang muncul ke permukaan jauh lebih kecil dibanding fakta sesungguhnya.
Ibarat pepatah ‘karena nila setitik, rusak susu sebelanga’, begitulah fenomena saat ini. Imbasnya, percayaan publik yang dibangun dengan susah payah, kini rapuh. Kalau ini terus dibiarkan, trust bulding yang menjadi bagian dari grand strategy Polri dan dibangun bertahun-tahun bisa runtuh. Ini yang harus dicegah. Sebagai kilas balik, Grand Strategi Polri 2005-2025 dirancang dalam buku biru Polri tentang reformasi kepolisian untuk memperkuat kepolisian setelah lepas dari ABRI (kini TNI). Tahap awal (2005-2010) adalah trust building atau membangun kepercayaan.
Tahap ke II (2011-2015), membangun kemitraan (partnership building) antara masyarakat dengan Polri diikuti tahap III dan IV. Tahap terakhir tahun 2021-2025, dengan target Polri menjadi excellent, dan menjadi institusi berkelas dunia. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Polri menuju excellent bila kepercayaan publik terus merosot. Karena itu Polri dituntut cepat merespon keinginan publik serta tidak antipati dengan kritikan.
Langkah Polri menggandeng Komnas HAM sebagai lembaga independen yang melakukan pengawasan eksternal, patut diapresiasi. Kolaborasi kedua lembaga ini diharapkan menjadi solusi guna menekan pelanggaran yang dilakukan oknum nakal. Pencegahan dan pengawasan adalah langkah preventif mengantisipasi penyimpangan.
Di sisi lain, reward and punishmen terhadap anggota jangan diabaikan. Beri penghargaan kepada anggota berprestasi, dan jatuhkan sanksi terhadap anggota yang melanggar.
Akhirnya, sebagai masyarakat kita juga tidak boleh menafikkan prestasi Polri, atau menggeneralisir bahwa semua polisi sama. Dari 450 ribu lebih personel Polri, masih banyak prajurit-prajurit terbaik. Mereka patut diapresiasi. Polri milik masyarakat. Sehingga baik buruknya, kita juga ikut berperan melalui pengawasan obyektif, serta kritik dan masukan yang sifatnya membangun. **