Diplomasi

Minggu 17 Okt 2021, 07:10 WIB

Struktur berkeadilan ini tercermin dalam struktur politik, ekonomi, dan kebudayaan yang mengedepankan kemakmuran untuk semua, kesetaraan, keberpihakan, dan meningkatkan peradaban. Dalam diksi social justice itulah, pemikiran Sukarno sudah melampaui the world politics pada jamannya. 

Dengan paradigma kehidupan berbangsa yang berkeadilan sosial tersebut, pada tahun 1945 Bung Karno menuliskan tentang bahaya kapitalisme yang selalu menciptakan krisis. Belum selesai krisis yang satu, akan muncul krisis lainnya yang lebih dalam. Bahkan dalam dialektikanya, Bung Karno telah memperkirakan bahwa suatu saat, Amerika Serikat dan Eropa Barat akan mengalami krisis ekonomi secara bersamaan.

Belakangan, dialektika pemikiran Bung Karno tersebut terbukti pada tahun 2008 ketika Amerika Serikat dan Eropa Barat mengalami krisis ekonomi yang terjadi secara bersamaan.

 

Ilustrasi. (ucha)

Bertitik tolak dari pemikiran Bung Karno tersebut, nampak benang merah yang jelas, bahwa Bung Karno bersama dengan pendiri bangsa lainnya seperti Bung Hatta, KH. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara dll. menyerap berbagai ilmu pengetahuan dari Barat, namun bingkai nasionalisme menjadi jalan pembumian ilmu pengetahuan agar sesuai dengan kondisi geografis, kultur, dan adat istiadat bangsa.

Ki Hadjar Dewantara misalnya, betapa fasih pemahamannya terhadap politik pendidikan ala Barat, lengkap dengan keterampilannya dalam penguasaan bahasa asing. Namun dari kesadarannya yang terdalam, lahir konsepsi kepemimpinan yang khas Indonesia: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Ki Hajar Dewantara tidak kebarat-baratan. Bung Karno dengan pemahaman yang luar biasa terhadap filsafat, politik, hukum, budaya, sejarah, geopolitik, dan menguasai begitu banyak bahasa asing juga tidak menjadi kebarat-baratan. Demikian pula Bung Hatta dengan gagasan tentang koperasinya. Semua ilmu pengetahuan diabdikan bagi kepentingan Indonesia dan meng-Indonesia.

Lalu tiba-tiba setelah lebih dari 76 tahun merdeka, muncul sosok seperti Rocky Gerung yang mengukur kepintaran seseorang dari diksi kebarat-baratan yang dipakai. Dikatakan bagaimana gender equality dan human right sebagai the new grammar of world’s politics yang menjadi tolok ukur kepintaran politisi.

Padahal dari pemaknaannya, semua diksi yang disampaikannya sudah masuk dalam substansi Pancasila. Bahkan, konsepsi yang ditawarkan dalam Pancasila jauh lebih sempurna. Demikian pula dengan sosok Refly Harun. Ia mengukur seseorang dari ukuran pendidikan sampai melupakan fakta empiris bagaimana seorang Presiden SBY yang profesor-doktor, kinerjanya jauh di bawah Presiden Jokowi yang tukang-insyinyur. 

Kepintaran seseorang saat ini lebih ditampilkan secara simbolik. Kepintaran hanya sekedar permainan kata-kata yang mengalir menjadi kecerdikan politik dengan mengolah rangkaian kata-kata indah sebagaimana ditunjukkan oleh Anies Baswedan.

Kepintaran juga ditampilkan dengan diksi penguasaan bahasa asing sebagaimana ditampilkan Rocky Gerung dengan berbagai logika filsafat yang justru seringkali menghilangkan subtansi filsafat yang penuh dengan keindahan dan kebijaksanaan. 

Dalam dunia politik, kepintaran itu diukur dari kemampuan mengartikulasikan harapan, aspirasi, dan mimpi rakyat menjadi keputusan politik yang terlihat dalam kebijakan publik. Bung Karno dengan kecerdasannya mampu menjadi “penyambung lidah rakyat Indonesia”. 

Megawati Soekarnoputri dengan kecerdasannya mengungkapkan berbagai persoalan rakyat dalam bahasa rakyat. Dalam diri Megawati Soekarnoputri mengalir saripati pengalaman hidupnya yang sangat lengkap. Ia lahir dan besar di istana, menjadi anak presiden yang sesungguhnya, dan karena peristiwa politik tahun 1965 berubah drastis menjadi rakyat biasa. 

News Update