Pemerintah pusat, khususnya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mempunyai kewenangan terhadap lahan pengganti atau perubahan fungsi hutan dipastikan sudah mengetahui permasalahan ini sejak lama termasuk potensi-potensi konflik antara PG Jatitujuh dan masyarakat.
Namun, lanjut Ono, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menlhk) seakan tutup mata dan membiarkan masalah ini berlarut-larut.
“Sehingga sangat disayangkan akhirnya terjadi konflik horizontal antara masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Ono, di sisi lain pada saat munculnya masalah tuntutan masyarakat terhadap pencabutan HGU atau lahan tebu menjadi kawasan hutan pernah ada tawaran solusi untuk dilakukan kerjasama atau kemitraan antara PG Jatitujuh dengan masyarakat.
Tetapi, pihak PG Jatitujuh menolak. Sehingga terjadi penguasaan lahan tebu oleh masyarakat secara ilegal.
“Setelah masyarakat yang mengatasnamakan FKamis terus menerus menguasai lahan secara ilegal sampai ribuan hektar, barulah PG Jatitujuh melakukan kemitraan dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal inilah yang menjadi dasar akhirnya terjadi kasus pengeroyokan dan pembunuhan terhadap dua petani tebu,” tutur Ono.
Ono mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian BUMN serta Direktur Utama Rajawali Nusantara Indonesia selaku induk perusahaan dari PG Jatitujuh untuk segera turut andil dalam menyelesaikan konflik ini.
“Janganlah masyarakat yang pada akhirnya saling memperebutkan lahan tersebut sehingga terjadi konflik horizontal antar masyarakat,” tandas legislator dari daerah pemilihan Indramayu, Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon ini (Dapil Jabar VIII). (aris)