JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pemerintah saat ini telah mengizinkan pembukaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah.
Namun berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) per 20 September 2021, adanya laporan klaster Covid-19 baru.
Diketahui, dari 46.500 sekolah yang melaksanakan PTM, 1.296 di antaranya melaporkan klaster Covid-19 .
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi ungkapkan, semuanya harus berperan aktif menjaga prokes.
"Perlu kerja sama yang baik antara pihak sekolah, orang tua dan siswa. Protokol kesehatan sangat penting ditegakkan untuk menghindari penularan di komunitas termasuk sekolah," ujarnya dalam keterangan resminya dikutip, Kamis (23/9/2021).
Di sisi lain, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut kasus Covid-19 akibat sekolah tatap muka harus diselesaikan dengan cermat.
Meski timbulkan klaster baru, Budi menyebut sekolah tetap harus dibuka. Hal itu guna membiasakan hidup bersama dengan Covid-19.
"Kita harus belajar hidup dengan hal (Covid-19) ini. Jadi saya bicara dengan Pak Nadiem (Mendikbudristek) 'ya ini normal, kita harus belajar hidup dengan ini, jadi manajemen resikonya masih bagus, bukan kita takut atau menghindari," kata Budi, Senin (27/9/2021).
Budi mengatakan, jika sekolah terus ditutup, akan lebih banyak kerugian yang dialami seperti penurunan indeks SDM karena masih diterapkannya sekolah jarak jauh.
"Kita harus mulai pendidikan tatap muka ini karena longterm disbenefit kalau kita tunda, makanya kita fokus sekali melakukan advance surveilans untuk PTM ini," katanya.
Tak hanya itu, Mendikbud Nadiem Makarim juga beberkan alasan mengapa pemerintah akhirnya mengizinkan Sekolah Tatap Muka
1. Anak kehilangan kesempatan belajar
Nadiem menegaskan, PJJ yang berlangsung hampir dua tahun ini telah mengakibatkan anak kehilangan kesempatan belajar. Dalam hal ini, siswa telah mengalami kognitif learning loss.
2. Kritisnya kondisi psikologis anak
Nadiem juga mengungkapkan, kondisi PJJ yang sudah terlalu lama ini, turut berdampak pada psikologis anak. Bahkan, Nadiem menyebut, hal ini sudah terlalu kritis.
"Sekarang kita sudah melihat bahwa perjuangan kita, posisi kita masih jelas, setiap kali diskusi dengan kementerian-kementerian lain, posisi kami selalu sama, secepat mungkin. Ini sudah terlalu lama kondisi psikologis anak kita dan kognitif learning loss anak kita sudah terlalu kritis, kita harus secepat mungkin membuka dengan protokol kesehatan yang ketat," ujar Nadiem.
3. Penurunan capaian belajar
PJJ memiliki banyak resiko yang nantinya berpengaruh pada kualitas peserta didik. Learning loss yang terjadi pada siswa ini berdampak pada penurunan capaian belajar.
"Jadi saya tidak harus menjelaskan lagi apa risikonya, ini kita sudah ada penurunan capaian belajar," ucap Nadiem.
4. Banyak anak putus sekolah, terlebih perempuan
Selain itu, Nadiem mengungkap banyak terjadi kasus anak putus sekolah selama masa PJJ. Terlebih bagi siswa perempuan. Di berbagai daerah, kata Nadiem, learning loss ini memiliki dampak yang permanen.
"Banyak anak putus sekolah, apalagi perempuan. Di berbagai macam daerah banyak learning loss yang dampaknya permanen," ujarnya.
5. Adanya kasus KDRT
Alasan lain yang semakin memperkuat Nadiem untuk menyelenggarakan sekolah tatap muka karena adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
"Kekerasan terjadi dalam rumah tangga, ini kita semua sudah tahu, semua kita adalah orang tua, atau anak, atau punya teman, yang sudah mengalami ketegangan melaksanakan PJJ, jadi ini harus segera kita akselerasi," ucapnya. (Cr09)