Sebelumnya Silmy Karim mengatakan impor baja yang berasal dari Tiongkok terindikasi dumping dan pengalihan pos tarif (circumvention). Silmy juga menerangkan impor tersebut banyak menggunakan unsur Boron sebagai unsur paduan yang digunakan untuk mengubah pos tarif HRC Carbon dengan HS Code 7208 ke HRC Alloy dengan HS Code 7225.
Menurut Ahmad Rijal pelaku impor HRC ini dilakukan oleh pabrikan produk turunan yang juga juga anggota IISIA. Seharusnya Ketua IISIA bisa menertibkan anggotanya yang melakukan pengalihan HS untuk menghindari tarif bea masuk.
Di satu sisi, sebagian besar impor juga dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas impor jalur prioritas [Mitra Utama Kepabeanan, dan Autorized Economic Operator (AEO).
Tercatat 50,6% impor baja dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas tersebut dan juga anggota pabrikan IISIA.
Impor pada jalur prioritas dapat dilakukan tanpa adanya Pre-shipment Inspection (PSI), suatu proses yang memverifikasi kesesuaian produk baja yang diimpor dengan dokumen impornya, yang dilakukan oleh Surveyor (KSO Sucofindo-Surveyor Indonesia atau Anindya Wiraputra Consult). Justru ini pertanyaan besar, tegas Ahmad Rijal.
Ahmad Rijal juga menyoroti investasi Hot Strip Mill (HSM) 2 oleh KS untuk produksi Hot Rolled Coil (HRC). Menurut Rijal investasi itu baik karena pasar baja dalam negeri sangat menjanjikan, namun tidak dapat menyelesaikan masalah impor bahan baku. Operasi HSM 2 sangat bergantung pada bahan baku impor, yang saat ini terjadi pada HSM 1 yang telah beroperasi lebih dulu.(*/tri)