Sepeninggal ayahnya empat bulan silam, Dahlia harus bekerja ekstra memeras keringat untuk menghidupi ketiga adiknya yang tinggal satu rumah dengannya.
"Suami saya hanya kerja serabutan sebagai kuli, tidak mempunyai pendapatan yang tetap, sedangkan saya bekerja sebagai kuli cuci di satu rumah di kompleks sebelah kampung dengan upah Rp175.000 seminggu," katanya.
Dahlia mengaku, penghasilan dari dirinya dan suami juga kadang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menutupinya ia kadang menghutang ke warung tetangga. Bahkan, tidak jarang pula ada tetangga yang memberinya makan.
"Yang penting mah ada beras, gas dan minyak. Kalau masalah lauk makannya mah apa aja seketemunya," ucapnya.
Selain itu ada kebutuhan listrik sekitar Rp50 ribu sebulan. Kebutuhan adik sekolah seperti buku dan lain sebagainya.
Hamil Muda
Adik kedua Dahlia, Fani baru dicerai suaminya, dalam kondisi hamil muda. Dengan memperhatikan kandungannya itu, sampai saat ini Fani belum bisa bekerja. Sedangkan Sunandar tinggal di panti asuhan sejak tiga bulan lalu, dan Fatimah masih sekolah di SD.
"Jadi Fani mau bekerja juga bingung, orang lagi hamil muda takut kenapa-kenapa dengan janinnya," ucapnya.
Sejak 2017, rumah warisan dari orang tuanya itu tidak pernah mendapat sentuhan perbaikan. Semuanya masih utuh seperti itu.
Namun selama masa pandemi ini, meskipun rumah Dahlia hanya berjarak sekitar tidak lebih dari 2 KM dari pusat Pemerintahan Kota Serang, dan sekitar 3 KM dari pusat pemerintahan Provinsi Banten, bantuan yang didapat oleh Dahlia hanya dari pemerintah pusat yang ditransfer langsung ke rekeningnya.
"Kalau dari Pemkot dan Pemprov belum pernah dapat. Terakhir itu dari Polsek Cipocok Jaya yang ngasih bantuan sembako. Alhamdulillah," ucapnya. (kontributor banten/luthfillah)