Lapas Kelas I Tangerang menjadi contoh bagaimana lapas kelebihan kapasitas hingga 400 persen.
Akibatnya, sangat mudah memantik gesekan antar napi hingga berujung keributan.
Dari penelusuran Poskota terhadap mantan napi, keributan di sel lapas kerap terjadi.
Penyebabnya beragam mulai rebutan kekuasaan hingga peredaran narkoba di dalam lapas.
Kegiatan buruk ini sudah menjadi hal umum, namun hingga kini belum ada tindakan konkrit dan mendasar dari pemerintah.
Pernyataan polisi diduga korsleting listrik juga tergolong aneh muncul 4 jam pasca kebakaran.
Aparat kepolisian biasanya ogah mengeluarkan pernyataan dugaan ke publik jika yang terbakar menjadi atensi atau kasus besar.
Sehingga muncul kesan korsleting listrik sengaja dihembuskan untuk menggiring opini tanpa menunggu hasil dari Puslabfor Polri.
Jika memang korsleting listrik yang menjadi penyebabnya justru semakin mempertegas bahwa pemerintah harus bertanggung jawab karena telah melakukan kelalaian besar menghilangkan 48 napi dan puluhan luka bakar.
Karena itu sebagai pucuk pimpinan sudah selayaknya Menteri Hukum dan HAM ikut bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Mundur adalah pilihan bijak karena selain dinilai gagal memimpin, lembaga pemerintah ini juga tak becus dalam membina dan memperbaiki lapas yang semakin hari semakin krodit ke situasi berbahaya.
Disini keprofesionalan aparat kepolisian di uji untuk menyampaikan kebenaran kepada publik secara terbuka terutama keluarga korban yang tewas.