Alhasil, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.
Sayangnya, sebelum dieksekusi Djoko telah melarikan diri ke Papua Nugini. Dan setelah buron selama 11 tahun Djoko Tjandra akhirnya ditangkap di Malaysia dan dijemput oleh Bareskrim Polri.
Ia tiba di Indonesia pada 30 Juli 2020 malam.
Dan babak baru dimulai setelah Djoko ditetapkan sebagai tersangka untuk tiga kasus berbeda.
Pertama kasus surat jalan palsu tersebut yang memuluskan pelarian Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia, dan menetapkan dua tersangka lain, yaitu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo (mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri) serta Anita Kolopaking, mantan pengacara Djoko yang mengurus permohonan PK tersebut.
Kasus lainnya adalah pemberian red notice yang melibatkan jenderal polisi yang diduga menerima suap yakni mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Prasetijo.
Terakhir adalah kasus dugaan pemberian suap kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Keduanya diduga berkonspirasi untuk mendapatkan fatwa dari Mahkamah Agung (MA).
Setidaknya ada empat perkara yang menjerat Djoko Tjandra itu dengan total hukuman 9 tahun penjara.
Setelah mendekam di penjara, keputusan Direktorat Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi kepada Djoko Tjandra pada HUT Indonesia ke-76 juga dinilai janggal.
Mereka menilai pemotongan masa tahanan itu diberikan untuk vonis pertama ketika Djoko Tjandra mendapat hukuman.
Padahal jelas-jelas, ketika mendapatkan vonis pertama, Djoko Tjandra menghilang selama 11 tahun.