Forje Projection dalam bidang militer bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam masa kepemimpinan Bung Karno, demi upaya menjaga perdamaian dunia dan menghormati prinsip kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, Indonesia pernah melakukan force projection ini.

Ilustrasi Suara Kebangsaan. (ucha)
Bantuan Indonesia yang diambil dari senjata yang diperlukan untuk pembebasan Irian Barat dan diselundupkan ke Aljazair dan pengiriman kapal selam kelas Whiskey untuk membantu Pakistan adalah beberapa contoh force projection yang menggelorakan semangat kepemimpinan Indonesia.
Force Projection di bidang politik internasional juga dijalankan Indonesia dengan kepemimpinannya di Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non-Blok, Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing, Conference of the New Emerging Forces (CONEFO), dan rencana penyelenggaraan Konferensi Tri Kontinental: Asia, Afrika, dan Amerika latin yang belum jadi terlaksana akibat peristiwa 1965.
Dalam force projection itu, Bung Karno mendapat gelar Pahlawan Pembebas dan Pejuang Kemerdekaan Bangsa Islam karena perannya yang sangat penting bagi kemerdekaan Maroko, Tunisia dan Aljazair. Dalam force projection itu Indonesia juga mengusulkan pemindahan markas besar PBB ke negara netral, di luar Blok Barat dan Blok Timur, dan mengusulkan Pancasila untuk menggantikan Piagam PBB.
Pertanyaannya, dengan berbagai contoh kongkrit tentang kepemimpinan Indonesia bagi dunia tersebut, mengapa bangsa Indonesia saat ini cenderung melihat ke dalam (inward looking) sehingga ketika bangsa Indonesia bersama seluruh warga dunia memerangi pandemi Covid-19 masih saja ada sebagian komponen yang menggunakan momentum tersebut untuk mendeskreditkan Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin dengan alasan kebebasan berekspresi?
Mengapa di masa sulit penuh perjuangan, dan di dalam keterbatasan anggaran karena Bung Karno tidak mau mengobral kekayaan alam bagi bangsa asing, solidaritas bangsa dapat terbangun dengan cita-cita nasional yang bulat? Apakah nasionalisme dan rasa percaya diri sebagai bangsa merdeka kini telah meluntur?
Berbagai pertanyaan di atas harus dijawab dengan bijak, dengan tradisi kritik dan otokritik, dan kemudian membangun cara pandang yang lebih luas serta berorientasi keluar (outward looking). Dengan menyadari bahwa setiap bangsa hanya maju atas rasa percaya pada kekuatan sendiri, maka sebaiknya dalam situasi pandemi seperti saat ini, solidaritas, gotong royong, dan persatuan nasional dikedepankan. Bukankah ketika bangsa Indonesia melihat secara obyektif, dan dengan membandingkan bagaimana negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Eropa, India, dan Brasil juga belum sepenuhnya bisa mengatasi pandemi dengan baik, seharusnya energi positif dapat dikedepankan.
Energi positif itu lahir dari pemikiran positif. Pemikiran positif melahirkan tindakan, cara berbicara, dan juga perilaku yang positif. Ketika hal ini menjadi kesadaran kolektif dan dilakukan oleh seluruh anak bangsa secara berdisiplin, maka yang ada adalah kekuatan yang satu untuk mampu mengalahkan pandemi.
Dengan demikian dalam situasi seperti ini, seharusnya setiap anak bangsa bertanya, apa yang sudah diberikan bagi negara, bagi tetangga disekitar kita, bagi lingkungan terdekat kita. Sudahkan kita berdisiplin menggunakan masker, meningkatkan imunitas tubuh, melakukan pembatasan sosial dengan menjaga jarak, dan bersama-sama membangun tekad bahwa bangsa Indonesia bisa mengatasi hal tersebut.
Sikap itulah yang seharusnya muncul. Sebab saat ini bukan saatnya saling menyalahkan. Momentum saat ini adalah waktu untuk berbuat sesuatu, meski nampaknya sederhana, namun penting sebagai mata rantai perbuatan yang berguna untuk mengatasi pandemi.
Indonesia adalah bangsa dengan rekam jejak sejarah peradaban yang membanggakan. Namun kita juga tidak menutup mata atas berbagai kekurangan. Contoh sederhana, pendidikan sekolah yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berorientasi bagi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengasah karakter seluruh anak bangsa agar tampil sebagai bangsa yang mengedepankan disiplin waktu, kejujuran, ketaatan pada hukum, kebiasaan untuk menciptakan nilai tambah, mengedepankan kualitas, dan menerapkan merit system dalam penilaian, di tingkat praktek ternyata masih jauh dari harapan.
Has