JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pemanfaatan dan pengawasan teknologi nuklir. Sampai saat ini Indonesia memiliki tiga reaktor nuklir riset yang dioperasikan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Ketiga reaktor nuklir riset itu yakni Reaktor Triga 2000 di Bandung (beroperasi sejak tahun 1965), Reaktor Kartini di Yogyakarta (beroperasi sejak 1974), dan Reaktor Serba Guna GA. Siwabessy di Serpong (reaktor nuklir dengan daya 30 MW, terbesar di Asia Tenggara, beroperasi sejak 1987).
Ketiga reaktor nuklir riset tersebut sudah beroperasi secara selamat selama puluhan tahun, hal ini menunjukkan keandalan pakar nuklir Indonesia sudah seharusnya tidak perlu diragukan lagi.
Dalam kancah internasional, Indonesia sendiri pada 1967 dikenal sebagai salah satu negara pendiri International Atomic Energy Agency (IAEA), organisasi internasional yang mengurusi ketenaganukliran. Sudah banyak pakar nuklir Indonesia berperan aktif dalam misi-misi internasional.
Dengan sejarah panjang tersebut, ketenaganukliran di Indonesia masih dirasa kurang dimanfaatkan dengan optimal.
Dalam bidang energi, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir masih diposisikan sebagai opsi terakhir.
Sampai dengan saat ini, juga belum ada peta jalan yang jelas dan kebijakan resmi dari pemerintah kapan Indonesia akan Go-Nuclear. Demikian juga dengan pemanfaatan teknologi nuklir dalam bidang-bidang lain, bisa dikatakan hasil penelitian yang dilakukan para peneliti BATAN, hampir tidak pernah dapat dihilirisasi ke sektor industri masal, sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Asosiasi Profesi Nuklir Indonesia (APRONUKI) mengadakan webinar bertema “Penguatan Regulasi Dalam Rangka Optimalisasi Ketenaganukliran Menuju Indonesia Emas 2045.”
Webinar ini menghadirkan pembicara Akademisi Hukum yaitu Intan Soeparna dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Advokat Dhoni Martien, dan pakar teknologi nuklir Widi Setiawan, serta dibuka oleh Staf Ahli Bidang IPTEK Dewan Ketahanan Nasional, Hendri Firman WIndarto.
Ketua APRONUKI, Besar Winarto dalam sambutannya menjelaskan Kondisi Hukum kita cenderung memberi peluang bagi penyelenggara negara memungkinkan jadi ego sektoral. UU bukan milik negara tapi jadi milik Kementerian, ini berakibat kurangnya koordinasi.
Nuklir pada dasarnya bersifat multi sektoral, berada sebagai pendukung penting bagi masing-masing sektor pembangunan, ini ikut terseret jadi ego sektoral dan hal ini berakibat nuklir belum mendapat tempat, ruang dan waktu.
Intan Soeparna dalam paparannya menyebutkan bahwa UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran saat ini sudah sangat ketinggalan.
Dalam UU Ketenaganukliran tersebut tidak dijelaskan tentang aspek pengusahaan nuklir oleh badan usaha swasta. Badan swasta tersebut apakah perusahaan joint venture asing, joint venture swasta dengan BUMN, koperasi atau perusahaan kontrak kerja.
"Hal tersebut mengakibatkan ketidakjelasan investasi di sektor nuklir. Juga tidak ada diatur dalam UU Ketenaganukliran mengenai cyber nuclear dan terorisme nuklir, dimana hal ini sudah menjadi perhatian dunia," katanya.
Dhoni Martien dalam hal pengawasan menunjukkan kelemahan dalam pengaturan kelembagaan ketenaganukliran.
"Sebagai regulator ketenaganukliran, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) tidak memiliki instrumen hukum yang kuat. "Mulai dari tidak adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sampai dengan sanksi pidana dan administratif yang masih sangat lemah dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan peraturan pelaksananya," ujarnya.
Menurut advokat yang juga berprofesi sebagai dosen itu, di samping harus diperkuat, BAPETEN juga harus diberi batasan kewenangan yang jelas.
"Siapa yang akan mengawasi BAPETEN? Mengingat saat ini, pasca terintegrasinya BATAN ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), BAPETEN adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang mengurusi ketenaganukliran," tukasnya.
"Untuk mengarahkan kebijakan ketenaganukliran, mengingat pemanfaatannya yang lintas sektor, perlu segera dibentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang juga merupakan amanat Pasal 5 UU No. 10 Tahun 1997," imbuhnya.
Webinar dihadiri berbagai kalangan pemangku kepentingan, yakni lembaga pemerintah seperti BATAN, BAPETEN, dan Kejaksaan, pemegang izin pemanfaatan tenaga nukir dari bidang medis dan industri, serta akademisi-akademisi dari bidang ilmu terkait. (toga)