Oleh: Hasto Kristiyanto
INDONESIA sungguh beruntung. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno telah memikirkan secara matang, konsepsi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan kultur bangsa. Kultur berperan penting bagi terwujudnya kohesivitas bangsa ketika menghadapi konflik.
Kultur dipengaruhi oleh aspek geografi. Geografi negara kepulauan akan membentuk corak kultur yang berbeda dengan negara benua. Geografi sebagai faktor permanen juga memengaruhi tata nilai. Secara sederhana, masyarakat di pantai memiliki tata nilai yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pegunungan.
Setiap bangsa, atas perbedaan posisi geografisnya, memiliki sejarah yang juga berbeda. Sejarah membentuk nilai, filsafat, cara pandang dan juga konsepsi tentang masa depan.
Dari sejarah pula, dipelajari bahwa faktor geografis ikut memengaruhi politik. Sebaliknya, politik juga memengaruhi cara pandang bagaimana menggunakan letak geografis suatu bangsa dalam posisinya terhadap dunia. Inilah yang kemudian sering disebut dengan geopolitik.
Hebatnya, Bung Karno telah memasukkan seluruh aspek sejarah, nilai, filsafat, geopolitik dan cara pandang bangsa Indonesia dalam rumusan yang sangat membumi dan visioner, yakni Pancasila.
Tidak heran karena kontribusinya yang begitu besar bagi Indonesia dan peradaban dunia, oleh Betrand Russel seorang filsuf besar dari Inggris Raya, Bung Karno disebut sebagai the great thinker from the east.

Pancasila dengan demikian bisa disebut sebagai kristalisasi jati diri bangsa. Berbagai nilai-nilai yang hidup dan memengaruhi karakter bangsa seperti gotong royong, sikap welas asih, musyawarah, toleransi dalam keberagaman dapat dipadukan dengan rasa cinta pada tanah air, dan patriotisme hingga lahirlah sesanti kehidupan berbangsa dan bernegara: Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi sikap hidup keberagaman namun menyatukan. Itulah jati diri bangsa.
Jati diri bangsa membentuk benteng kultural yang penting perannya sebagai basis kehidupan demokrasi Indonesia. Jati diri bangsa menjadi landasan etis, bahkan jalan menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan gotong royong. Hal inilah yang praktis belum ditemukan di daerah konflik seperti Irak, Sudan, Afganistan, dll.
Konflik di Timur Tengah hingga Afganistan bisa dijadikan contoh. Konflik tak kunjung usai ketika mazhab agama ataupun berbagai hal yang berbau sektarian sebagai pangkal.
Konflik tidak hanya merusak peradaban. Konflik yang terjadi juga menggelapkan seluruh wajah kemanusiaan, tidak hanya di daerah konflik, namun juga bagi wajah kemanusiaan universal.
Apa yang terjadi pada awalnya adalah konflik politik-pertarungan kekuasaan. Lalu melebar, menggunakan beragam alasan. Legitimasi konflik juga menggunakan berbagai rasionalisasi: ide kesejahteraan, agama, keyakinan, ataupun ideologi yang dipakai sebagai daya tarik bagi penopang kekuasaan. Konflik berkembang makin meluas hingga melibatkan pihak luar.
Dalam situasi keterlibatan pihak luar, basis legitimasi konflik juga semakin meluas dipengaruhi oleh cara pandang geopolitik suatu negara. Rudolf Kjellen misalnya. Ilmuwan Austria pada awal abad ke-17 yang dikenal sebagai pencetus istilah geopolitik tersebut menegaskan bahwa negara layaknya organisasi hidup yang memerlukan ruang ekspansi guna memertahankan eksistensinya.
Demikian halnya dengan Karl Haushofer, seorang pemikir politik Jerman yang dengan dalil geopolitiknya menggagas politik “ruang hidup”. Aplikasi pemikiran tersebut dapat dilihat dalam gerakan ruang hidup (lebensraum) bangsa Jerman untuk memerluas wilayah pasarnya pada masa industrialisasi dimana situasi saat itu, jumlah populasi besar namun berada dalam wilayah yang relatif sempit.
Teori geopolitik yang ekspansionis inilah yang digunakan Hitler untuk membangun Jerman Raya sebagai ambisinya menguasai dunia. Demikian halnya Jepang, Inggris, Perancis, Belanda, Amerika Serikat, dll. Semua bergerak dalam pandangan geopolitik guna memerluas ruang hidup atau lebensraum. Dalam pandangan geopolitik yang ekspansionis tersebut, ketika ada sebuah celah sedikit saja untuk intervensi atas kedaulatan suatu negara merdeka, maka hal itu akan dilakukan. Inilah yang terjadi di Afganistan.
Ketidakmampuan menyelesaikan konflik infernal, telah mengundang Rusia, Amerika Serikat, Inggris, hingga Tiongkok demi ambisi geopolitik atas tata letak strategis Afganistan pada jalur rantai suplai energi yang strategis di Asia Tengah dan Selatan. Demikian halnya di Irak, paska peristiwa 11 September 2001, Irak dijadikan sasaran aksi unilateralisme Amerika Serikat dengan alasan perang terhadap terorisme.
Konflik di seluruh penjuru dunia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pancasila sebagai the way of life, falsafah dan cara pandang Indonesia di dalam memainkan peran aktifnya di dunia terbukti efektif. Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Kebangsaan,
Musyawarah dan Keadilan Sosial mampu menjadi nilai mendasar dalam resolusi konflik. Konflik yang menjadi ancaman nyata bangsa saat ini adalah sektarian, primordialisme, fundamentalisme dan ideologi transnasional seperti komunisme, liberalisme, kapitalisme dan khilafahisme. Kemenangan Taliban di Afganistan membuka perhatian kita agar berbagai pengaruh ekstrimisme dengan menggunakan agama tidak boleh terjadi di Indonesia.
Di sinilah jati diri bangsa menjadi kunci untuk diperkuat relevansinya sebagai benteng kultural di dalam mengatasi konflik, membangun persatuan nasional dan sekaligus melangkah bersama pada cita-cita masa depan.
Dalam perjuangan mencapai masa depan, maka kedisiplinan, keteguhan untuk memegang aturan hukum, penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi, dan kewaspadaan sosial harus terus dibangun. Kewaspadaan sosial terus dikedepankan guna mengantisipasi secara dini berbagai kerawanan sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan dan kekerdilan alam pikir.
Selama jati diri bangsa terus diperkuat menjadi karakter yang membanggakan dan pada saat bersamaan, bangsa Indonesia memiliki keyakinan yang sama terhadap arah masa depan, maka berbagai hambatan dan cobaan seperti pandemi saat ini akan bisa diatasi, dan dengan Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, bangsa Indonesia akan dapat merentangkan jalan masa depan yang sangat menjanjikan dalam hal kejayaan, kemakmuran, dan kepeloporan. Opimisme itulah yang selalu penting untuk ditumbuhkan. Merdeka!!!!!!