Oleh: Hasto Kristiyanto
SUDAH begitu lama bangsa Indonesia merumuskan aspek filosofis tentang kemanusiaan. Kemanusiaan yang bergema kuat menjadi alasan mengapa Indonesia harus merdeka. Dengan diksi kemanusiaan, para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno merumuskan sebuah tesis sederhana: bahwa kemerdekaan Indonesia pada dasarnya adalah jalan dan “jembatan emas” untuk membebaskan manusia Indonesia dari belenggu penjajahan. Penjajahan politik, ekonomi, budaya dan pendeknya segala penjajahan yang mengerdilkan harga diri sebagai bangsa.
Dari pembahasan tentang kemanusiaan itulah bergema kata-kata mutiara Mahatma Gandhi, my nasionalism is humanity. Oleh Sukarno, pernyataan Gandhi ini semakin menegaskan bahwa dengan menggali keseluruhan aspek kemanusiaan tersebut, lahirlah nasionalime sebagai “gelegar semangat” agar bangsa Indonesia bersatu dan berjuang memeroleh kemerdekaan. Bung karno berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia itu murni dan penuh idealisme. Ia adalah satu nasionalisme yang akan bersemi dan mekar dalam kebun raya internasionalisme yang indah.
Bagaimana relevansi nasionalisme sebagai cita-cita kemanusiaan hadir di dalam menghadapi Pandemi Covid-19 dengan varian deltanya yang begitu menakutkan dan penuh ancaman terhadap kemanusiaan? Buktinya, ketika serangan varian delta menghadang, kepanikan terjadi, rumah sakit penuh, sistem kesehatan kembali menghadapi ujian dan seruan lock down bergema seiring dengan semakin banyaknya korban yang berjatuhan, serta diperburuk oleh berbagai plintiran, hoaxdan berbagai manuver politik yang semakin memperburuk keadaan.
Dalam situasi yang mengarah kepada kepanikan publik itulah, seruan kemanusiaan kembali berkumandang. Doa penguat iman, doa penguat harapan dan doa pembangun keyakinan menjadi perekat kekuatan spiritual. Gotong royong makin bersinar dan munculah gerakan kolektif kerakyatan untuk membantu sesamanya. Berbagai prakarsa bermunculan, dari swasta, BUMN, dari tokoh masyarakat. Ada yang menyumbang oksigen, membuat dapur umum, gotong royong vaksin menjadi gerakan yang semakin masif, keterlibatan aparatur TNI POLRI, hingga operasi door to door vaksinasi yang dipelopori BIN. Beberapa organisasi profesi seperti Persatuan Insiyur Indonesia juga terpanggil. PII sebagaiwadah organisasi keinsinyuran Indonesia berkreasi. Ventilator, alat sterilisasi udara dan permukaan, alat uji masker, dan upaya untuk menggerakkan anggota PII yang bekerja di pabrik-pabrik pupuk untuk meningkatkan produksi oksigen juga dilakukan. Gema kemanusiaan telah memanggil keterlibatan aktif setiap komponen bangsa, untuk dalam situasi yang sulit, dibawah ancaman Covid-19, terpanggil untuk berdedikasi bagi bangsa.
Di tengah gema kemanusiaan itu, sangat disesalkan ketika sosok politisi muda kurang pengalaman, tanpa tahu peta lapangan dan betapa kompleksnya masalah pandemi, tiba-tiba berteriak dari kursi kemapanandan mengatakan Indonesia sebagai bangsa gagal. Suatu teriakan penuh energi negatif, terlebih tanpa tindakan konkrit di lapangan. Demikian halnya berbagai nada hasutan untuk tidak percaya pada pemerintah. Kesemua sikap tersebut adalah contoh energi negatif. Namun, meski mereka mencoba berteriak mencari perhatian demi keuntungan politik, suaranya kalah dengan gema kemanusiaan. Sebab gema kemanusiaan muncul dari kesadaran terdalam bangsa Indonesia bahwa hidup itu penuhdengan tradisi gotong royong; bahwa hidup itu penuh solidaritas, yang kuat membantu yang lemah. Di sinilah paradigma “Kita Indonesia” menyatukan gerak kemanusiaanmenjadi energi positif yang begitu penting di dalam “perang” menghadapi Virus Covid-19.
Situasi yang sama muncul dari kekakuan atas elemen pemegang otoritas. Beberapa otoritas kesehatan dan badan yang seharusnya melihat keseluruhan problematika pandemi tersebut masih terlalu kaku pada prosedur dan ego birokrasi. Kekakuan birokrasi juga nampak ketika Tri Rismaharini, Menteri Sosial RI, menggugat ego kompartemen di Kementrian Sosial yang dipimpinnya, sehingga gerak dapur umum untuk rakyat sepertinya hanya menjadi bagian dari unit di Kementrian Sosial, bukansebagai sikap hidup dan credo pelayanan bagi rakyat yang sedang kesusahan. Ego birokrasi itulah yang digugat Risma.
Dengan munculnya politisasi pandemi dan disisi lain ego sektoral di kalangan birokrasi serta pemegang otoritas pemerintahan, seharusnya diatasi dengan membangun kesadaran tentang manajemen krisis. Harus diingat bahwa hukum sederhana ketika krisis banyak ditemukan dalam kesadaran kultural bangsa. Kobarkan energi positf, perkuat bela rasa, kedepankan kreativitas, bangun harapan, hidup gotong royong dan lakukan apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban. Disinilahseluruh gagasan positif harus muncul tanpa sekat birokrasi. Debat yang intens terkait Ivermectin bisa menjadi contoh. BPOM bersikeras karena prosedur uji klinis. Otoritas kesehatan bungkam. Padahal, dalam situasi krisis, apa yang bisa membangun harapan rakyat seharusnya dijalankan. Uji empiris dalam situasi krisis bisa dikedepankan. Dengan demikian, terkait dengan Ivermectin tsb, pendekatan seharusnya sederhana. BPOM tetap pada otoritasnya yang menegaskan bahwa Ivermectinbelum teruji secara klinis sebagai obat Covid. Namun BPOM juga membuka mata dan telinga, bagaimana uji empiris, termasuk di beberapa negara, Ivermectin bisa menjadi opsi yang menyembuhkan. Ivermectin adalah obat cacing. Yang terpenting penggunaan obat tersebut sesuaidengan dosis, dengan rekomendasi dokter, digabung dengan obat lain yang tersedia, selama tidak membahayakan keselamatan yang berkaitan dengan nyawa manusia bisa dipergunakan. Jadi ketika penderita binggung akibat beberapa obat covid menjadi langka dan mahal karena permintaan melebihi persediaan, muncul opsi Ivermectin yang bisa membangun harapan,dan bisa menjadi landasan yang memenuhi aspek etis terkait dengan hak pasien untuk sehat.Seharusnya hal tersebut tetap dilakukan, bahkan jika perlu dibagi secara masif. Sebab sugesti, keyakinan,dan rasa percaya diri untuk sembuh juga menjadi bagian dari metode penyembuhan dengan pendekatan psikologis. Bukankah dalam situasi menghadapi Covid ini, keteguhan mental dari pasien untuk kuat dan memunculkan semangat “perang” untuk mengalahkan covid juga bagiandari penyembuhan? Bayangkan ketika pasien mengantri dan tidak mendapat askes pengobatan, oksigen menjadi langka, lalu betapa matanya akan bersinar, ketika sang pasien mendapatkan opsi obat sebagai hak etisnya untuk sehat, meski obat tersebut baru melalui uji empiris dan belum lolos uji klinis.
Terkait aspek etis guna memberikan hak pasien untuk sembuh, ada baiknya melihat DeklarasiHelsinki yang sudah dirativikasi Indonesia. Deklarasi tersebut berangkat dari penghormatan terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya bagi penyembuhannya. Terkait dengan pandemi ini, berdasarkan Deklarasi Helsinki, maka demi kebutuhan dan keselamatan pasien, meskipun uji klinis yang masih memerlukan penelitian, pasien memiliki hak untuk didahulukan di atas kepentingan sains; termasuk di dalam memilih obat, termasuk dalam hal ini Ivermectin dan obat lainnya yang belum diuji secara klinis. Prinsip Deklarasi Helsinki ini adalah mengedepankan pertimbangan etis di atas hukum dan peraturan.
Atas dasar hal tersebut,demi spirit yang muncul dalam Deklarasi Helsinki dan gema kemanusiaan yang mewujud dalam tradisi gotong royong bangsa, maka dalam menghadapi pandemi seharusnya berbagai prakarsa dikedepankan. Siapapun anak bangsa, atau suatu kelompok, atau suatu organisasi, akan memberikan kontribusi dalam situasi darurat pandemi, dengan mengambil terobosan, termasuk cara penyembuhan, seharusnya dibuka ruang. Sebab nilai kemanusiaan itulah yang seharusnya dikedepankan, guna mengambil berbagai langkah terobosan, meski terkandung resiko, agar harapan bagi keselamatan rakyat dikedepankan. Sebab bagi pasien yang terpapar Covid-19, memegang obatpun sudah suatu harapan. Terlebih ketika mereka dilayani dengan penuh tanggung jawab, bahwa negara hadir, dan para pemimpinnya berani mengambil terobosan dengan tanggung jawab penuhsebagai pemimpin. Gema kemanusiaan dan gotong royong adalah energi yang membuat Indonesia kokoh menghadapi berbagai krisis!!! Jangan ragu, kedepankan tindakan nyata bagi keselamatan rakyat, bangsa, dan negara!!!