Oleh: Reza Indragiri Amriel
PAK HARMOKO, Mau Jadi Ahli Politik. Begitu saya berseru, tahun 1988 lalu, saat ditanya Bupati Indragiri Hulu tentang cita-cita saya. Walau saya rajin menonton Dunia dalam Berita di TVRI, tapi saya sebetulnya tak tahu betul apa itu politik.
Walau begitu, yang berkelebat di kepala saya ketika berkata 'ahli politik' adalah Pak Harmoko. Tampaknya karena wajahnya yang sering saya saksikan di TVRI, walaupun bukan di tayangan jam sembilan setiap malam.
Sampai saat berkuliah saya terus menyimak perkataan demi perkataan Pak Harmoko. Yang paling sering adalah tatkala beliau menyampaikan hasil rapat kabinet.
Acara ini, seingat saya, ditayangkan pukul 21.30. Sama rutinnya dengan tayangan upacara penurunan bendera di Istana Negara.
Kalau ditanya apa isi pernyataan Pak Harmoko di depan media, saya tak ingat. Tapi kenapa saya rajin mengikuti acara itu, lebih karena keterpukauan saya pada gaya komunikasi lisan Pak Harmoko.
Pengucapannya fasih, intonasinya bersih, runtutannya sedemikian rapi. Hanya dengan melihat Pak Harmoko berbicara, tertangkap pesan bahwa negara sedang aman-aman saja.
Tenteram juga. Sampai suatu masa Pak Harmoko sesekali mengenakan kacamata dengan lensa berwarna kecoklatan, penampilannya tetap sama: prima. Tambahan lagi tatkala dia tersenyum lebar, terlihat gingsulnya.
Berkat kelihaian Pak Harmoko bertutur kata, saya mendaulatnya sebagai salah satu tokoh dengan kemampuan bicara istimewa. Dan biasalah, setelah mengancungkan jempol, terbit keinginan menjadi orang dengan kelihaian seperti dia. Keinginan itulah yang kemudian muncrat lewat kalimat spontan, "Mau jadi ahli politik."
Masih di tahun delapan puluh tahunan. Pak Harmoko punya jasa menyelamatkan bangsa dari anasir-anasir yang melemahkan semangat juang. Saya yang sedang gandrung pada The Final Countdown dari grup hard rock Europe jelas terganggu oleh lagu-lagu cengeng yang mendapat porsi siar ekstra di radio.
Di TVRI apalagi; jangan harap ada Europe di situ. Malah Hati yang Luka dan sejenisnya yang berulang-ulang disiarkan video musiknya. Beruntung, Pak Harmoko tegas: setop genre lagu yang berdarah-darah bercerita tentang konflik rumah tangga dan bernada merapuhkan jiwa.
Ayah saya turut punya andil "memperkenalkan" saya ke Pak Harmoko. Ketika melewati kawasan Proyek Senen, mendekati rel kereta api Stasiun Senen dari arah Kwitang, ayah kerap menunjuk ke satu titik pinggir jalan.
Katanya, di situ dulu ada toko pangkas rambut, dan semasa muda Pak Harmoko bercukur di sana. Saya telusuri lewat internet, tak ada informasi untuk menguji keabsahan cerita tentang tempat Pak Harmoko dan tukang cukurnya.
Tapi setidaknya fragmen itu menjadi bukti betapa ayah pun punya kesan khusus tentang sosok yang awet menjadi anggota kabinet Pak Harto itu.
Selain kemampuan lisan, rambut memang menjadi kenangan kedua saya tentang Pak Harmoko. Rambutnya rapi sekali. Tak pernah berubah. Pada aspek itu, Pak Harmoko cuma tertandingi oleh Kak Seto. Setiap helai rambut mereka berbaris disiplin.
Perbedaannya cuma satu: tidak pernah ada orang yang mempertanyakan keaslian rambut Pak Harmoko, sementara terhadap Kak Seto satu teka-teki yang nyaris tak pernah terjawab adalah tentang orisinalitas rambutnya.
Satu lagi: salah satu koran yang selau dibawa pulang dari kantor oleh ayah adalah Pos Kota. Kata ayah, harian itu didirikan oleh Pak Harmoko. Berkat Pos Kota, sejak duduk di bangku SD, saya akrab dengan berita-berita kriminalitas dan lembergar, sisipan kartun di Pos Kota.
Masuk ke usia pancaroba, di samping terus menyantap lembergar, saya mulai memerhatikan iklan-iklan baris di Pos Kota. Sejak itulah saya jadi paham juga tentang iklan-iklan nakal khas dewasa yang teratur muncul pada setiap edisinya.
Masuk ke paroh kedua tahun sembilan puluhan, di suatu malam, salah satu stasiun televisi menyiarkan berita menggemparkan. Tentang reshuffle kabinet. Jenderal Hartono diangkat sebagai Menteri Penerangan. Pak Harmoko sendiri tidak diwartakan nasibnya.
Untuk ukuran masa itu, peristiwa pergantian menteri menjadi berita yang menggemparkan. Sampai-sampai salah seorang om saya berkomentar, "Kalau sudah tak disukai, pasti masuk kotak."
Kelak terbukti, spekulasi om saya itu tidak sesuai kenyataan. Pak Harmoko ternyata justru gencar berkampanye selaku Ketua Umum Golkar. Alhasil, alih-alih terbuang, "tersingkir"-nya Pak Harmoko dari kursi menteri justru karena ia sedang mendapat kepercayaan sangat besar. Tak lama berselang, Pak Harmoko pun duduk sebagai Ketua MPR.
Dua momen yang saya ingat tentang Pak Harmoko di jabatan barunya itu. Pertama, dalam sebuah sidang, Pak Harmoko berpantun, "Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah di tepi pantai."
Sampai di kiasan itu, hari ini saya tak ingat persis kata demi kata yang Pak Harmoko ucapkan. Kurang lebih, "Kalau ingin menjadi bangsa yang hebat, jangan hidup bersantai-santai."
Ruang sidang MPR seketika bergemuruh oleh tepuk tangan. Bagi orang yang sering mengeluarkan pernyataan normatif, permainan semantik dan diksi sedemikian rupa dari Pak Harmoko menjadi terdengar impresif.
Sekaligus sangat mengena, karena saat itu krisis dalam negeri mulai terasa badainya. Karena itulah, berbeda dengan kelaziman 'yang satu bertepuk, yang lain pun ikut' pada masa tersebut, riuh tepukan anggota MPR/DPR pada momen sidang itu terkesan begitu spontan.
Pemandangan dahsyat itu berubah tajam sekian bulan kemudian. Sekelompok tokoh nasional menyambangi sang Ketua MPR di kantornya, gedung kura-kura.
Laiknya situasi domestik pada masa itu, wajah Pak Harmoko pun tampak tegang saat berhadapan dengan tamu-tamunya. Terlebih saat Adnan Buyung Nasution menggunakan sapaan 'Dik Harmoko', saya yang sedang menonton tivi sambil berbaring di kos-kosan Miliran Jogja seketika bangkit. Terperanjat. Jam pasir kian menyusut, batin saya.
Era berganti. Pada resepsi pernikahan putri Pak Umar Shihab di Balai Sudirman, saya mendampingi ayah saya naik ke atas panggung untuk menyalami kedua mempelai dan orang tua mereka.
Karena barisan tamu lumayan rapat, tangan saya sedikit menahan langkah orang yang berdiri di belakang ayah saya. Orang itu berhenti. Saya alihkan pandangan ke wajahnya.
Ternyata Pak Harmoko. Sepersekian detik setelah beradu pandang, ia sunggingkan senyumnya sambil mengirim gestur mempersilakan kami untuk maju.
Saya tengok ke kiri kanannya, tidak ada ajudan. Ia masuk ke dalam barisan tamu biasa. Pastinya, Pak Harmoko tidak harus menunggu petunjuk dari siapa pun untuk menjadi orang yang biasa-biasa saja seperti saya.
Di mana?
Sekitar satu bulan lalu, tak ada angin tak ada hujan, terbit keinginan untuk melihat-lihat rekaman berita tempo doeloe khusus tentang Pak Harmoko. Catatan-catatannya terbit berkala di Pos Kota. Tapi selain itu, di mana bapak ini sekarang, hati saya bertanya-tanya.
Deretan panjang video terpajang di Youtube setelah saya masukkan kata kunci "Harmoko". Salah satunya adalah momen ketika Pak Harmoko bercakap-cakap dengan seorang petani.
Persis suasana batin saya sekian puluh tahun silam, seketika saya terkesima lagi oleh kedahsyatan orang ini dalam berkomunikasi.
Hidup, hangat, enteng, dan berisi. Berjaket kuning menyala, berkopiah hitam, dia memang penutur sejati.
Selamat jalan, Pak Harmoko. Selamat menyongsong hidup baru.