Oleh Harmoko
DALAM negara berdemokrasi, kritik adalah keniscayaan. Kritik diperlukan bagi setiap orang, siapa pun dia, apapun status dan jabatannya serta latar belakangnya.
Bahkan, melalui kolom ini pernah disampaikan bahwa kritik bisa menjadi “obat kuat” , jika : disikapi secara bijak; tidak melihat siapa yang menyampaikan kritik; dan ada upaya memperbaiki kekurangan diri.
Tidak kalah pentingnya adalah merenung diri, bertanya kepada diri sendiri, “mengapa orang lain menyampaikan kritik?”
Perenungan diri menjadi penting agar tidak terlena oleh keadaan, oleh banyaknya pujian dan sanjungan yang datang silih berganti. Sementara kita wajib meyakini tidak semua sanjungan itu tulus. Kadang sanjungan yang berlebihan dapat memabukkan, membuat lupa diri, hingga dapat menciptakan kesombongan.
Tak sedikit tokoh hebat dunia tergelincir dari kekuasaannya karena terbuai bujuk rayu, pujian dan sanjungan, lebih – lebih kesombongannya karena merasa dirinya paling hebat, paling segalanya. Termasuk merasa yang paling benar.
Sifat “keakuan” diri inilah yang cenderung abai terhadap saran dan masukan ataupun kritikan dari orang lain. Padahal kritik itu memotivasi untuk melakukan perbaikan.
Melalui kritikan kita dapat mengetahui di mana letak kekurangan. Kita dapat mengukur sejauh mana tindakan yang sudah dilakukan. Jika seorang pejabat, sudahkah tindakannya, kebijakannya sesuai harapan dan kehendak masyarakat, dapat diketahui di antaranya dari kritikan, bukan dari pujian dan sanjungan.
Mengapa? Jawabnya adalah kritikan itu pahit tetapi mendidik jiwa, jika direspons dengan baik dan positif. Sedangkan pujian itu manis, tetapi dapat merusak hati, jika diterima dengan angkuh.
Patut diingat juga, semakin tinggi pangkat dan jabatan, akan semakin deras arus kritikan yang dialamatkan. Ibarat pohon yang semakin tinggi, terpaan angin akan bertambah kencang. Hanya saja, angin tidak berhembus menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.
Itulah perlunya sikap bijak atau legowo menerima kritikan dari siapa pun datangnya. Cermati pesan yang hendak disampaikan, bukan dengan melihat orang yang menyampaikan. Ini bentuk saling menghargai sesama.
Orang lain memberi kritikan karena melihat ada sesuatu yang kurang, tentu dengan argumentasinya, melalui sudut pandangnya, penilaiannya. Meski, belum tentu sepenuhnya benar, perlu diterima dengan baik sebagai bentuk kepedulian, sebagaimana kepedulian mereka yang memberikan kritikan.
Seseorang memberikan kritik karena peduli dengan kita, karena memperhatikan, maka memberi kritik.
Itulah sebabnya hendaknya kita bersikap bijak dengan berterima kasih kepada pengkritiknya, bukan membencinya atau memusuhinya.
Tahapan berikutnya adalah secara terus menerus dan sungguh – sungguh memperbaiki diri atas kekurangan yang terjadi melalui aksi nyata baik ucapan maupun perbuatan. Sibuk berdalih membela diri sepantasnya dijauhi.
Pitutur luhur mengajarkan kepada kita agar senantiasa berjiwa besar menerima kebenaran yang datangnya dari siapa pun, tanpa membedakan status sosial ekonominya, pangkat dan jabatannya.
Mari menjadi pribadi yang berjiwa besar untuk bersedia menerima kritik, nasihat, saran, masukan ataupun teguran dari siapa pun sebagaimana filosofi Jawa “ Sukeng tyas den hita”.
Begitu pun yang mengkritik hendaknya tidak asal kritik. Disebut kritik membangun jika dilakukan dengan penuh kepedulian menuju perbaikan, bukan dilandasi kebencian untuk menjatuhkan. Semoga. (*)