“Ojo Waton Ngomong”

Senin 07 Jun 2021, 07:00 WIB
Karikatur Bung Harmoko. (kartunis: poskota/arif's)

Karikatur Bung Harmoko. (kartunis: poskota/arif's)

Oleh Harmoko

OJO waton ngomong”. Filosofi berbahasa Jawa ini cukup sederhana, tetapi sarat dengan makna jika hendak mencermatinya. Mengandung ajaran etik dan moral bagaimana membangun komunikasi yang baik, serasi dan selaras dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih luas lagi, berbangsa dan bernegara.

Setiap warga negara berhak berbicara, menyatakan pendapat karena memang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana diamanatkan melalui pasal 28E(3) UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Lebih rinci lagi pada ayat berikutnya diatur mengenai hak untuk berkomunikasi, berhak memperoleh dan mencari informasi, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Meski terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan informasi sebagaimana hak yang melekat pada dirinya, tetapi tidak lantas bebas tanpa kendali. Terdapat batasan-batasan dalam berkomunikasi, ada aturan main, belum lagi etika dan norma sosial yang tumbuh dan hidup sejak dulu kala sebagai adat dan budaya kita yang kemudian dilegalkan melalui falsafah bangsa kita, Pancasila.

“Ojo waton ngomong” yang berarti “Jangan asal bicara”  hendaknya kian diaktualisasikan, di era digital seperti sekarang ini.

Fakta tak dapat dipungkiri, kini setiap orang semakin mudah mengakses informasi dari mana pun datangnya, tak hanya segala penjuru negeri kita, juga dunia. Dampaknya, kian mudah menyampaikan pendapat kepada publik, kapan saja dan di mana saja, juga kepada siapa saja.

Terdapat kecenderungan, pendapat atau pun komen yang terlontar, utamanya di media sosial kadang jauh dari etika dan tata krama, kalau tak mau disebut kurang beradab. Belum, lagi, kadang jauh dari fakta karena tanpa kroscek.

Ini acap terjadi di dunia maya, tetapi hendaknya tidaklah demikian di alam nyata, ketika bertetangga, bersosialisasi dengan lingkungan.

Kini, kian dituntut kearifan para pengamat, wakil rakyat dan pejabat ketika menyampaikan pendapat kepada publik jangan “waton ngomong.”

Baca Juga:

Kita meyakini, sebagai figur publik akan meneladani, dalam menyampaikan pendapat tentu berdasarkan data, fakta dan kenyataaan serta kebenaran yang ada. Ini yang disebut “ngomong sing gawe waton” - bicara harus bisa dibuktikan, didukung fakta, mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bukan mengada-ada, bukan asal berkomentar, bukan pula asal bunyi untuk kepentingan pribadinya demi pencitraan diri.

Jika dia seorang pengamat tentu akan mengedepankan netralitas dan objektivitasnya, dengan sudut pandang keilmuannya, kepakarannya dan keahliannya. Sejauh mungkin menghindari adanya “pesan sponsor”.

Jika dia seorang wakil rakyat, pasti akan menyuarakan kepentingan rakyat, demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bukan mengemas seolah kepentingan rakyat, tetapi untuk memenuhi kehendak pejabat, lebih-lebih keuntungan kerabat.

Jika dia pejabat, tentu pernyataan yang menyejukkan, bukan memanaskan situasi. Menentramkan, bukan membingungkan. Makin memberi keyakinan, bukan menambah keraguan. Membangun optimisme, bukan pesimisme. Memecahkan masalah, bukan malah membuat susah karena menambah masalah.

Mari kita ciptakan suasana yang sejuk dan nyaman dengan menjauhkan diri dari “waton ngomong” menjadi “ngomong sing gawe waton” dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ajaran para leluhur yang termanifestasikan dalam pedoman dan falsafah bangsa kita. (*)

Berita Terkait

Jangan Pelit Berbagi

Kamis 10 Jun 2021, 07:00 WIB
undefined

Perlunya Membangun Kesetaraan

Kamis 17 Jun 2021, 07:00 WIB
undefined
News Update