Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!"
Itulah falsafah Ketuhanan yang dimaksudkan oleh Bung Karno dan kemudian seluruh Pidato Bung Karno tersebut diterima secara aklamasi bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila.
Pancasila berfungsi sebagai jiwa bangsa. Ia memberikan ruh bagi perasaan senasib sepenanggungan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ia menyatukan rakyat dengan tanah airnya dan memberikan arah tentang kepemimpinan Indonesia bagi dunia.
Pancasila terbukti juga merasuk dalam hakekat kehidupan berbangsa sehingga dengan keanekaragaman paling kompleks sedunia, bangsa Indonesia tetap bersatu karena spirit satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa persatuan nasional.
Dengan landasan Pancasila tersebut, makna hakiki dari peringatan Idul Fitri bersamaan dengan Kenaikan Isa Almasih tentu saja mengandung pesan tentang pentingnya persaudaraan sejati seluruh umat manusia.
Pesan ini senafas dengan tujuan bernegara, guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Tujuan bernegara Indonesia ini sungguh luar biasa, dan sangat mulia!! Tidak heran dalam perenungannya tentang seluruh konsepsi Indonesia Merdeka, Dr. Yudi Latif, sosok cendekiawan muda, menggambarkan Indonesia sebagai Negara Paripurna.
Bahkan, ketika bangsa-bangsa lain dihadapkan pada konflik yang berakar dari persoalan sektarian, primordialisme dan agama, sebagaimana terjadi di Suriah, bahkan Amerika Serikat sekalipun yang dilanda konflik SARA, Indonesia memiliki daya tahan yang kokoh, karena Pancasila sebagai suatu falsafah, sistem nilai, dan pedoman perilaku, telah hidup dan mewarnai sejarah peradaban nusantara.
Sejarah peradaban pada Abad ke 7 misalnya. Di Kerajaan Sriwijaya, sosok pendeta Budha Dharmakitri mampu merumuskan jalan Yogachara, sebagai jembatan spiritualitas guna mengatasi perbedaan antara aliran Tantrayana dan Mahayana.
Suatu jembatan solusi khas nusantara. Hal yang sama terjadi pada Abad ke 14, ketika Mpu Tantular dalam kitab kakawin Sutasoma mengungkapkan mantra Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa sebagai solusi pentingnya persatuan meski berbeda-beda, sebab tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Demikian halnya ketika Islam masuk ke Nusantara, khususnya di Jawa. Oleh para Walisongo, bagaimana nilai-niliai luhur dalam tradisi Hindu termasuk Wayang, dijadikan media dakwah bagi syiar agama Islam.