Oleh : Hasto Kristiyanto
Di muka bumi ini, adakah bangsa besar yang eksis tanpa topangan karakter pada kebudayaannya? Amerika Serikat dengan American Valuesnya, lahir dari perpaduan revolusioner antara Washington, Jefferson, dan Thomas Alfa Edison; Jepang dengan semangat bushidonya dan Cina dengan sosialismenya yang berkarakter Tiongkok.
Belajar dari kemajuan bangsa Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, Uni Emirat, Cina, dan bahkan Singapura, mereka berkemajuan bukan karena jalan modernisasi semata. Mereka maju karena kokoh pada jalan kebudayaannya. Mereka menjadi maju karena topangan metode berpikir rasional, yang akrab dengan riset dan inovasi.
Nation and character building, tradisi intelektual, dan supremasi sains itulah trilogi kemajuan sebagaimana digagas oleh Bung Karno. Bahkan terhadap Islam sendiri, Bung Karno mengatakan dengan lantang: “Islam is a progress, yang harus bersekutu dengan ilmu pengetahuan”.
Bagi Bung Karno seluruh energi positif bangsa dibangun dan disatukan selama kemerdekaan bangsa bisa diraih. Dalam risalahnya “Mencapai Indonesia Merdeka”, Bung Karno sangat piawai menghadirkan kepemimpinan intelektual-negarawan melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Semua dilakukan dengan tradisi membaca. Baginya, buku adalah jendela, jalan, dan cakrawala bagi kemajuan bangsanya.

Dengan caranya, mereka membangun tradisi pendidikan yang memerdekakan; suatu tradisi yang menggugat secara kritis berbagai bentuk penjajahan, dan merumuskan langkah perjuangan bagi kemajuan bangsanya tanpa pernah mengenal kata putus asa.
Mereka mengedepankan jalan modernitas yang melekat kuat pada karakter orisinil bangsa seperti gotong royong, welas asih, keseimbangan hidup, dan pengabdian tanpa akhir bagi bangsa dan negara.
Bagi para pejuang negarawan tersebut, hidup itu membuat sejarah dan menjawab panggilan sejarah.
Pertanyaannya, ditengah berbagai kepungan liberalisme dan kapitalisme saat ini, serta praktek pendidikan yang sering diwarnai oleh identitas “kesamaan seragam sekolah” daripada kualitas, bagaimana kemajuan bangsa diperoleh?
Tidak ada kata lain selain mendorong pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, serta pendidikan yang menjawab bagaimana anak-anak bangsa bergairah untuk menguasai ilmu-ilmu dasar: matematika, fisika, biologi, kimia, namun pada saat bersamaan memperkuat aspek kognitif, analisis dan kepekaan sosial, bagi terbangunnya energi kemajuan.
Pendeknya, politik pendidikan harus bertopang pada rasionalitas kritis, dalam cara dan bingkai kebudayaan bangsa.
Apakah itu bisa? Pendidikan itu membebaskan alam pikir keterbelakangan. Pendidikan harus dibumikan dalam berbagai persoalan nyata. Salah satu persoalan nyata itu misalnya, bagaimana mengolah singkong, sagu, porang dan seluruh sumber makanan lainnya menjadi sesuatu yang bernilai tinggi secara ekonomi dan bermanfaat bagi rakyat. Disitulah jalan berdikari dalam pangan.
Demikian halnya berlaku untuk obat-obatan yang sangat penting dikembangkan di tengah pandemi. Karenanya, pendidikan memerlukan tradisi riset dan inovasi. Pendidikan harus penuh dengan daya kreasi dan selalu mencari opsi kebenaran ilmiah sebagai pilar bagi jalan berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional adalah ruang bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik, yang memberi pilihan-pilihan bagaimana berbagai persoalan bangsa diselesaikan melalui tradisi riset dan inovasi.
Dengan jalan itu, seluruh kekayaan flora dan faunanya, dan seluruh sumber kekayaan alam yang luar biasa, harus dikelola oleh anak-anak bangsa yang percaya bahwa jalan kemajuan di depan mata, ketika seluruh kreasi itu dibangun dengan cara berdikari.
Cara berdikari bukannya menutup diri. Cara berdikari itu perjuangan menuntut ilmu tiada henti, dan memraktekkannya bagi kemajuan negeri.
Selamat datang Badan Riset dan Inovasi Nasional, dengannya Indonesia menegaskan jalan kreasi berdikari.