Oleh Harmoko
DALAM bahasa Latin kita kenal istilah “vox populi vox dei”. Kata ini acap diidentikkan dengan kalimat sakti yang sudah begitu mendunia. Dalam bahasa Indonesia, memiliki makna “ suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Kata ini kian menggejala ketika mendekati kontes politik tertentu seperti pemilu, pileg, pilpres atau pilkada.
Siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam kontes politik akan ditentukan sepenuhnya oleh suara rakyat.
Siapa yang akan menjadi penguasa kedepan, wakil rakyat, presiden, gubernur, bupati, walikota, bahkan kepala desa akan tergantung seberapa besar suara rakyat. Kepada siapa suara rakyat diberikan, dimandatkan, dialah yang menang.
Begitu berharganya, maka suara rakyat menjadi rebutan. Tak kurang, ada yang berupaya “membelinya” melalui beragam cara dan upaya.
Menjadi ironi, usai kontes politik, suara rakyat tak lagi diburu. Suara rakyat dianggap angin lalu. Dilirik pun tidak, apalagi dipegang erat sebagai dasar membuat kebijakan sesuai kehendak suara rakyat.
Kita tahu, suara rakyat tentu saja diberikan (dimandatkan) kepada tokoh yang sejalan dengan visi dan misinya. Mestinya, tokoh yang dipercaya mendapat mandat tersebut akan menjalankan amanat sebagaimana kehendak suara rakyat.
Maknanya elit politik (baik di eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan/ lembaga lainnya), hendaknya dalam dirinya menjelma kehendak rakyat. Logika dasar demokrasi mengajarkan demikian. Bukan menjelmakan suara dirinya, kelompoknya menjadi suara rakyat.
Kita hendaknya menyadari suara rakyat bukan hanya dibutuhkan ketika digelar kontes politik. Suara rakyat sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Suara rakyat adalah filter, pengawal dan penyemangat bagi para elit politik dalam menjalankan tugasnya. Jika disadari bahwa tugasnya adalah untuk memajukan, memakmurkan dan menyejahterakan kehidupan rakyat.
Demi terwujudnya kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana cita-cita negeri ini didirikan, para elit wajib senantiasa mendengar suara rakyat. Meski suara rakyat secara legal telah dimandatkan kepada wakilnya di lembaga legislatif dan eksekutif, tetapi suara langsung dari rakyat- sering disebut aspirasi, wajib didengar, dicerna dan diserap, kemudian dirumuskan melalui kebijakan sesuai kehendak rakyat.
Aspirasi berupa usulan, permintaan atau pun permohonan sering disampaikan secara langsung kepada elit ketika berinteraksi dengan warga masyarakat. Ketika anggota dewan, menteri, gubernur, bupati, walikota, bahkan kepala negara melakukan kunjungan kerja, tak jarang menerima masukan dari rakyat.
Sebut saja yang baru-baru ini terjadi. Ketika Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) melakukan panen raya padi seluas 300 hektar di Desa Telarsari, Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang.
Kita tahu, Karawang sebagai satu daerah penghasil beras terbesar negeri kita. Dikenal lumbung padinya Indonesia.
Banyak hal yang disampaikan para petani kepada pejabat tinggi negeri ini, ketika dibuka kesempatan tanya jawab. Salah satunya yang menjadi curhatan adalah soal impor komoditas pangan. Para petani minta pemerintah menghentikan impor beras. Tentu dengan sejumlah alasan yang dikemukakan.
Suara petani tadi adalah suara rakyat yang nyata apa adanya. Menjadi bahan renungan bagi kita semua, wajarkah jika suara rakyat ini dianggap angin lalu oleh para elite politik negeri ini. Pantaskah sesuatu yang ada, dianggap menjadi tidak ada?
Sejatinya begitu banyak cakupan suara rakyat yang perlu dicarikan solusi oleh elit negeri ini. Liputan media cetak,elektronik, digital yang mengangkat suara rakyat cukup melimpah ruah. Tinggal bagaimana mencermati, menyikapi dan mengkritisi. Menyerapnya kemudian mencarikan solusi melalui kebijakan yang pro - rakyat. Bukankah melayani rakyat adalah salah satu tugas aparat, birokrat dan pejabat? (*).