Profesor Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.

Opini

Obrolan Minggu Profesor Dr Amir Santoso: Revolusi

Minggu 28 Mar 2021, 06:12 WIB

BANYAK pelopor sebuah revolusi yang mengkhianati cita-cita yang  mereka pikirkan ketika melancarkan revolusi.

Biasanya revolusi dilancarkan dengan cita-cita mengubah suatu tatanan pemerintahan yang dianggap mengkhianati rakyat. 

Maka lahirlah di benak sang revolusioner, gagasan untuk menghapus
korupsi, ketidakadilan, nepotisme, KKN dan rupa-rupa keburukan lainnya yang dilakukan oleh suatu rezim.

Mengganti rezim yang dianggap korup dengan cara evolusioner atau konstitusional dianggapnya tidak efisien karena butuh waktu lama. Maka dilancarkanlah demonstrasi massal atau kudeta agar rezim yang korup bisa segera diakhiri.

Namun ketika sang revolusioner berkuasa, ternyata mereka sendiri mengadopsi penyakit rezim yang mereka gulingkan itu. Rezim baru itu ternyata juga mengulangi apapun keburukan dari rezim lama.

Para revolusioner itupun melakukan korupsi, membuat kebijakan dan  prilaku tidak adil. Mereka mendirikan partai sendiri dan membiarkan partai
lain menjelma menjadi partai keluarga. 

Dulu sebelum revolusi, mereka mengecam keras praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang dilakukan oleh rezim yang lama. Namun, ketika berkuasa, mereka jugalah yang membuat dinasti politik dengan mengangkat sanak keluarganya pada jabatan-jabatan publik.

Dulu sebelum revolusi, sang revolusioner mengecam keras praktek
pemberian proyek negara hanya kepada sanak keluarga dan orang dekat
rezim yang mereka sebut sebagai oligarki. Namun setelah berkuasa, oligarki baru ternyata juga mereka ciptakan sendiri. Lupa kepada janji-janjinya saat melancarkan revolusi.

Tapi semua itu bisa dimaklumi. Kekuasaan memang menyuguhkan begitu banyak kemewahan dan kemudahan sehingga hampir semua orang ingin menikmati kekuasaan itu.

Tinggal tunjuk kanan kiri maka bergegas para abdi dalem menyuguhkan apapun yang diminta oleh tuannya.

Sang tuanpun tidak menyadari bahwa banyak abdi dalem di sekelilingnya yang merupakan para penipu dan penjilat. Para abdi dalem itu suguhkan kenikmatan kepada tuannya seolah sebuah pengabdian yang tulus padahal si penipu itu mendapat lebih banyak daripada sang tuan.

Maka, generasi muda dan orang-orang diluar rezim, kini berganti menyebut rezim revolusioner itu sebagai rezim yang dikelilingi para
oligarki. Persis seperti rezim lama yang dihujat oleh sang revolusioner.

Orang-orang di luar rezim revolusioner itupun menganggap bahwa para revolusioner itu dulu melancarkan revolusi hanya karena mereka tidak
kebagian. Sebab ternyata setelah berkuasa, maka penyakit lama yang
melekat pada rezim lama, dilakukan lagi oleh rezim para revolusioner.

Penyakit mengulang praktek lama itu memang telah terjadi dimanapun
di dunia ini. Sebab hal  itu berkaitan erat dengan karakter manusia yang
selalu menginginkan kenikmatan hidup secara mudah.

Jarang sekali ada pemimpin revolusioner yang teguh memegang cita-citanya untuk mengabdi kepada rakyat miskin. Sukar melihat adanya pemimpin revolusi yang ketika berkuasa lantas benar-benar mengangkat harkat dan derajat rakyat dan negaranya yang miskin.

Memang ada beberapa pemimpin revolusi yang teguh dengan cita-citanya, namun sebagian, jika tidak sebagian besar, dari mereka telah
melanggar sumpahnya sendiri.

Dunia, agaknya memang akan selalu berputar dari suatu kelemahan
kepada kelemahan yang lain, dari suatu keburukan dan keburukan yang lain.

Kiranya, hanya rakyat yang berwawasan luas dan tidak munafi klah yang
akan mampu membuat dunianya berubah dari keburukan menjadi  kebaikan dengan melahirkan rezim yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negaranya.

Artinya, nasib suatu bangsa terletak pada bangsa itu sendiri, bukan terletak pada para pemimpinnya.

(Profesor DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
Obrolan Mingguprofesor-dr-amir-santosorevolusi

Administrator

Reporter

Administrator

Editor