Melihat hal ini, Azmi memberikan beberapa catatan kecil atas kejadian ini. "Jadi solusinya adalah bukan dengan menghapus serta merta pasal-pasal yang ada. Karena kalau dihapuskan akan menghilangkan perlindungan terhadap kepentingan hukum yang juga perlu dilindungi," kata Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno ini.
Namun, katanya, dengan menata kembali perumusan delik (reformulasi) terhadap Pasal -pasal dalam UU ITE yang menjadi kontroversi atau potensi overkrimimalisasi dan dianggap menjadi berkurangnya ruang dialektika publik dalam demokrasi agar diletakkan secara seimbang sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana termasuk menghindari formulasi jangkauan delik terlalu luas atau menjadi delik yang jangkauan liar dalam penegakannya.
Baca juga: Ada Pasal Karet Dalam UU ITE, PKS: Setuju Direvisi
Azmi mengatakan, konsiderans UU ITE secara jelas mengakui bahwa aturan ini ditujukan antar lain untuk mengatur kegiatan yang muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi. "Jadi kedepan dalam Pasal pasal tertentu pada UU ITE tersebut ada tambahan dasar ketentuan yang memuat keharusan atau pengecualian dasar dan syaratnya dengan tegas serta jelas batasannya, misal dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE," sebutnya.
Ia pun menyebut, laporan ditindaklanjuti hanya atas pengaduan korban, dan ada tambahan dalam pasal ini yang memuat tidaklah dapat dipidana jika hal tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum.
"Atau ada kepentingan hukum yang hendak dilindungi misal melindungi kekayaan miliknya dan bila ia adalah korban tidak dapat dituntut ,apalagi bila orang tersebut telah pula melakukan upaya iktikad baik guna mempertahankan kehormatan miliknya tersebut," paparnya. (rizal/tri)