JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Pada era yang semakin modern ini, inovasi teknologi digital telah menjadi bagian penting dalam aktivitas kehidupan manusia.
Cepatnya perkembangan teknologi ini, serta semakin banyak varian fitur‐fitur canggih yang ditawarkan pada masyarakat untuk membantu aktifitas manusia.
Kini aktifitas manusiapun semakin bergeser atau bermigrasi ke ruang‐ruang dalam jaringan berbasis online yang dulunya dilakukan secara offline.
Memperhatikan hal tersebut pemerintah Indonesia, tentunya timbul kebutuhan akan regulasi kemudian pemerintah membentuk Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga: Revisi UU ITE, FPAN: Usulan Presiden Harus Direspon Oleh DPR
Diharapkan UU ITE itu dapat menjadi instrumen kunci dalam pemanfaatan teknologi internet di Indonesia.
"Ternyata dalam praktiknya menimbulkan instrumen yang syarat dengan ketentuan pembatasan terhadap aktivitas di dunia maya dan kini menjadi kontroversi dan debatebel," kata Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra, Kamis (18/2/2021).
Bahkan, lanjutnya, sebahagian masyarakat menganggap pasal-pasal tertentu dalam UU ITE menjadi overkrimisalisasi, bahkan lama kelamaan nilai sifat tercelanya tindak pidana ini akan tergerus.
Karena kelebihan beban hukum yang maknanya perbuatan kritik atau komentar didunia maya itu oleh masyarakat dianggap seperti hal biasa.
Baca juga: Soal Revisi UU ITE, Pengamat: Presiden Jokowi Dinilai Hanya Manis di Mulut
"Coba lihat pada fenomena kasus di dunia maya dalam salah satu postingan saja sudah ada ratusan komen yang sebenarnya bisa masuk kategori melanggar pasal 27 UU ITE, apa iya mau dipolisikan semua para pemberi komentar tersebut?," ucapnya.
Melihat hal ini, Azmi memberikan beberapa catatan kecil atas kejadian ini. "Jadi solusinya adalah bukan dengan menghapus serta merta pasal-pasal yang ada. Karena kalau dihapuskan akan menghilangkan perlindungan terhadap kepentingan hukum yang juga perlu dilindungi," kata Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno ini.
Namun, katanya, dengan menata kembali perumusan delik (reformulasi) terhadap Pasal -pasal dalam UU ITE yang menjadi kontroversi atau potensi overkrimimalisasi dan dianggap menjadi berkurangnya ruang dialektika publik dalam demokrasi agar diletakkan secara seimbang sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana termasuk menghindari formulasi jangkauan delik terlalu luas atau menjadi delik yang jangkauan liar dalam penegakannya.
Baca juga: Ada Pasal Karet Dalam UU ITE, PKS: Setuju Direvisi
Azmi mengatakan, konsiderans UU ITE secara jelas mengakui bahwa aturan ini ditujukan antar lain untuk mengatur kegiatan yang muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi. "Jadi kedepan dalam Pasal pasal tertentu pada UU ITE tersebut ada tambahan dasar ketentuan yang memuat keharusan atau pengecualian dasar dan syaratnya dengan tegas serta jelas batasannya, misal dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE," sebutnya.
Ia pun menyebut, laporan ditindaklanjuti hanya atas pengaduan korban, dan ada tambahan dalam pasal ini yang memuat tidaklah dapat dipidana jika hal tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum.
"Atau ada kepentingan hukum yang hendak dilindungi misal melindungi kekayaan miliknya dan bila ia adalah korban tidak dapat dituntut ,apalagi bila orang tersebut telah pula melakukan upaya iktikad baik guna mempertahankan kehormatan miliknya tersebut," paparnya. (rizal/tri)