Dituduh Radikal, Prof Din Syamsudin Dilaporkan ke KSAN, Menag Minta Semua Pihak Tidak Mudah Berikan Label Radikal

Sabtu 13 Feb 2021, 20:48 WIB
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin. (ist)

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dengan tuduhan sebagai orang yang radikal.

Terkait hal itu itu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok.

 "Penyematan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain. Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar Menag Yaqut di Jakarta, Sabtu (13/2/2021).

Baca juga: ASN Terpapar Radikalisme dan Terorisme, Menteri Tjahjo Kumolo Siapkan Sanksi Non Job Hingga Pemecatan

Untuk diketahui, Din Syamsuddin yang juga seorang Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dilaporkan oleh Gerakan Anti Radikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB). Saat ini, pelaporan tersebut telah ditangani oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Namun demikian, Gus Yaqut, terkait  dugaan pelanggaran Din Syamsuddin yang statusnya masih sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dia menilai sebenarnya telah jelas ada regulasi yang mengaturnya.

Prosedur penyelidikan pun telah diatur secara komprehensif oleh negara, antara lain melalui inspektorat maupun KASN.

Baca juga: Cegah Terorisme dan Radikalisme pada Anak, Pendidikan Agama Harus Diberikan Sejak Usia Dini

Dengan dasar tersebut, Menag Yaqut berharap, semua pihak untuk mendudukkan persolan ini dengan proporsional.

“Persoalan disiplin, kode etik dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita secara mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya,” tegas Menag Yaqut.

Gus Yaqut, lebih lanjut mengungkapkan stivma atau cap negatif seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi. Untuk itu, menciptakan pola komunikasi yang cair dan dua arah adalah sebuah keniscayaan, lebih-lebih di era keterbukaan informasi saat ini.

Baca juga: Mahfud MD: Pandemi Tak Kurangi Ancaman Radikalisme dan Terorisme

"Stigma radikal juga bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain," terang Gus Yaqut.

"Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid,” ujar Gus Yaqut, sapaan akrab Menag.

Dengan model tabayyun ini, kata dia, maka hakikatnya seseorang atau kelompok juga akan terhindar dari berita palsu atau hal-hal yang bernuansa fitnah.

Dia mengajak seluruh komponen bangsa untuk mengutamakan komunikasi yang baik dan menempuh cara klarifikasi jika terjadi sumbatan masalah.

"Jika pola ini diterapkan,  optimistis, segala polemik berkepanjangan atau kekisruhan yang seringkali muncul dan merugikan bangsa ini bisa dicegah," tandasnya.

Gus Yaqut menegaskan dirinya  tidak setuju jika seseorang  langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal. "Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN.

Namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang,” Gus Yaqut menandaskan. (johara/win)

Berita Terkait

News Update