JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Vaksin Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3%, dan dari segi keamanan dinyatakan aman. Efek samping ada dilaporkan, tetapi ringan dan bersifat reversible.
Demikian Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof Dr Zullies Ikawati, Apt dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (12/1/2021).
Efikasi adalah estimasi bagaimana nanti efektivitasnya (vaksin). Di atas 50 persen itu sudah ada jaminan, ada harapan vaksin akan menurunkan kejadian penyakit
Baca juga: Vaksin di Jakarta di Mulai Jumat 15 Januari, Banyak Tokoh Berpuasa Senin Kamis Jadi Alasan
"Kekhawatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brasil," terang Zullies.
"Tapi kemudian banyak orang bertanya, kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ya? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90% ?," ujar dia.
Zullies menerangkan vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo).
Baca juga: Jokowi Sudah Masuk Daftar Nama Vaksinasi Covid-19 Gelombang Pertama Besok
"Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong)," katanya.
"Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%. Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak, " terang Zullies.
Dia menjelaskan efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.
Baca juga: Keseluruhan Gugatan Praperadilan Habib Rizieq Ditolak Majelis Hakim
"Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3%. Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi," kata Zullies.
Sedangkan, di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
"Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah," ujar Zullies.
Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi Covid-19 (3,25%) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%.
"Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda," papar Zullies. (johara/win)