Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya.

Opini

Obrolan Minggu Profesor Amir Santoso: Capitol

Minggu 10 Jan 2021, 06:00 WIB

GEDUNG ini sekarang makin terkenal. Soalnya kemarin dulu gedung ini diserang dan diduduki oleh demontrans pro Presiden Trump. Mereka ingin menyetop proses pengesahan kemenangan Jo Biden, (lawan Presiden Trump, dalam Pilpres beberapa waktu yl).

Orang kecewa ketika kalah bertarung sih sebenarnya biasa. Tapi ketika yang kalah lalu menduduki Gedung Capitol, maka publik sejagad jadi heboh. Sebab Gedung Capitol itu dianggap sebagai lambang demokrasi Amrik. Itu adalah Gedung parlemennya Amrik, mirip dengan Gedung DPR Senayan. 

Demo di Capitol itu dianggap merusak wajah demokrasi, apalagi Amrik dianggap sebagai embahnya demokrasi. Orang bilang, kalau di rumah embahnya demokrasi saja, gedung parlemennya diserbu dan diduduki hingga menyebabkan empat pendemo dan satu polisi tewas, apalagi yang mau disanjung-sanjung oleh Amrik ? 

Amrik kan selalu membanggakan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling bagus dan hebat, dan wajib ditiru oleh semua negara. Sebab hanya demokrasi yang membolehkan semua warganegara bebas mengemukakan pendapat. Itu kata teori loh.

Tapi apa benar demokrasi di Amrik jadi rusak karena penyerbuan Capitol? Menurut saya sih tidak. Sebab ada beberapa fakta setelah peristiwa kemarin itu yang dalam pandangan saya tetap mampu mencerminkan masih hidupnya demokrasi di sana.

Pertama, setelah demo terjadi, beberapa senator dari partainya Trump (Partai Republik) ramai-ramai mengecam Presiden Trump. Mereka malahan berbalik tidak memberikan suaranya kepada Trump melainkan mendukung Biden sebagai Presiden baru. Mereka sangat marah dan malu terhadap kelakuan pendemo tersebut. Kalau hal yang sama terjadi di Indonesia apa ada ya anggota DPR yang berani seperti mereka?

Kedua, tiga mantan presiden Amrik (Clinton, Bush, Obama) juga ikut mengecam Presiden Trump malahan ada yang mengatakan Trump sebagai pembohong. Mereka bilang kejadian itu sangat memalukan bagi bangsa Amrik. Nah jika hal itu terjadi di negeri kita, apa kira-kira akan ada juga mantan presiden yang ikut mengecam seperti itu ya? Ya semoga ada.

Ketiga, terbaca di TV bahwa Kepala Kejaksaan di Amrik tengah menyelidiki keterlibatan Presiden Trump dalam peristiwa tersebut. Hadeeh, apa bener tuh berita? Soalnya gak pernah kejadian seperti itu di negeri kita ada kepala kejaksaan berani-beraninya mengusut keterlibatan presiden yang masih menjabat. Apa dia mau jadi pengangguran ?

Keempat, persis setelah kejadian demo tersebut, rame-rame pejabat di lingkungan istana presiden, Gedung Putih, mengundurkan diri alias minta berhenti. Kepala polisi Washingtonpun juga minta berhenti karena malu dan merasa bertanggung jawab tidak mampu mengamankan Gedung Capitol. Walah-walah kok mereka tidak takut kehilangan jabatan demi harga diri ya? Mestinya mereka belajar sama pejabat kita, bagaimana caranya mempertahankan jabatan meskipun atasannya dianggap melakukan kesalahan. Bodoh sekali pejabat-pejabat di Amrik itu ya. 

Ya begitulah, lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain negeri lain pula demokrasinya. Demokrasi memang bukan semata adanya Presiden dan pemerintahan, adanya Parlemen dan Mahkamah Agung, atau dikenal sebagai Trias Politika. Demokrasi juga harus dicerminkan oleh sikap warganegara berupa keberanian menolak  kebusukan, kebohongan, ketidakadilan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Lain dari itu semua warganegara hendaknya memiliki prinsip politik yang teguh terhadap kebenaran dan keadilan, juga bersiap mempertahankan martabat dan harga diri.

(Profesor DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
OpiniObrolan MingguProfesor Amir Santoso:capitol

Reporter

Administrator

Editor