Tetapi jika untuk menang dengan menjegal lawan melalui kecurangan, jelas sebuah pelanggaran. Tak hanya mengabaikan etika, juga menabrak norma agama dan negara.
Jika sebagai warga tidak menaati norma negara, tak ubahnya mengingkari keberadaan dirinya sebagai anak bangsa. Jika sudah demikian, lantas bagaimana nasib kepemimpinan kita ke depan.
Patut diingat, jika kecurangan menjadi sebuah mode, lazimnya kecurangan pertama akan diikuti dengan kecurangan kedua, ketiga dan berikutnya.
Banyak modus melakukan kecurangan. Tidak jujur, tidak lurus hati, tidak adil, tidak objektif termasuk perbuatan curang. "Mengakali" dan "keculasan" juga bagian dari kecurangan.
Yang kita khawatirkan jika kecurangan dibalas dengan kecurangan sehingga jadilah "kompetisi kecurangan".
Tentu, dengan kedewasaan berdemokrasi, kita meyakini hal itu tidak akan pernah terjadi.
Mari kita singkirkan kecurangan meski hanya sebatas angan. Kalau pun terjadi bolehlah hanya dalam mimpi.
Banyak cara menjauhkan diri dari kecurangan dalam berkompetisi. Di antaranya tidak senantiasa terobsesi kemenangan karena ingin meraih kedudukan, pangkat dan jabatan.
Kita percaya semua akan menjadi nyata pada saatnya.
Ada pitutur luhur sebagai pegangan hidup kita. "Nek wis ono, sukurono. Nek durung teko, entenono. Nek wis lungo lalekno, nek ilang ikhlasno."
Artinya, "Kalau sudah punya itu disyukuri, kalau belum datang ya dinanti, kalau sudah ditinggal pergi lupakan, kalau hilang iklaskan". (*)