Perlu Malu, Tapi Tidak Malu – Maluin

Kamis 03 Des 2020, 07:00 WIB
Kopi pagi

Kopi pagi

Oleh H.Harmoko

KITA harus memiliki rasa malu, utamanya malu kepada diri sendiri jika menjadi orang tidak berguna. Tidak berbuat sesuatu, sementara lingkungan bergerak melaju. Malu, jika yang lain ikut kerja bakti untuk kebersihan lingkungan, misalnya, kita “ngumpet” di rumah.

Yang lain kerja keras, kita malah bermalas – malas. Rasa malu diperlukan sebagai alat kontrol diri agar tidak terjerumus kepada hal – hal keburukan.

Malu untuk mengambil  sesuatu yang menjadi hak orang lain, malu menerima suap dan gratifikasi.

Malu pungli, korupsi dan malu melakukan perbuatan yang merugikan banyak orang , demi meraih keuntungan diri sendiri.

Operasi Tangkap Tangan ( OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru – baru ini setidaknya mengindikasih budaya malu perlu dicermati.

Revolusi mental yang dimaksudkan membangun manusia berkualitas dan berintegritas, manusia berbudaya, termasuk berbudaya malu melanggar hukum, tampaknya masih perlu proses panjang untuk mencapai tujuan.

Kita acap  menyaksikan paparan sejumlah peristiwa pelanggaran etika dan norma dipertontokan di ranah publik. Memperdaya sesama, menerima suap dan pungli tanpa ditutup-tutupi lagi.

Bahkan, tidak sedikit pejabat publik yang terlihat senyum ceria ketika mengenakan rompi tahanan KPK. Bukan rasa malu yang diperlihatkan dengan gesture tubuh, sebagaimana maksud Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan baju tahanan kepada koruptor.

Bahkan, di era digital tidak ada rasa malu lagi  untuk berkomentar apa saja, kepada siapa saja, kapan saja. Etika dan norma sosial budaya kadang terabaikan.

Rasa malu kian tersingkir dari etika dan budaya kita.

Apa yang terjadi? Jawabnya  jika diurut, banyak faktor penyebabnya. Bisa karena kondisi sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya.

Sepertinya “rasa malu” perlu dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjadi filter mengatasi beragam penyakit masyarakat (patologi sosial) yang belakangan terasa kian masif dan transparan.

Dulu, untuk berjudi dan minuman keras saja orang melakukannya dengan sembunyi – sembunyi. Karena ada rasa malu kepada keluarga, malu terhadap lingkungan sekitar dan lain-lain.

Ada kesadaran menutup aib karena takut terkena sanksi sosial yang sangat ketat. Apalagi prostitusi dan mencuri serta madat.

Kini, penyakit masyarakat nyata terjadi di sekililing kita seperti korupsi, narkoba dan prostitusi via online (seks bebas dan sejenisnya) begitu terbuka.

Sementara kita tahu adab apa pun, ajaran agama mana pun menyebutkan rasa malu itu sangat penting dan tidak boleh diabaikan sedikit pun.

Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan segala kemuliaan dan sebaliknya, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

Malu berarti segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya.

Menyongsong masa depan yang lebih baik lagi, rasa malu mutlak perlu dibudayakan, yang penerapannya dimulai dari pribadi hingga tingkat elite bangsa ini dalam kehidupan sehari – hari.

Untuk menjadi bangsa yang besar dan mandiri, negara kita memerlukan dukungan seluruh rakyat yang memiliki “rasa malu”. Malu untuk korupsi, malu menerima suap dan pungli, malu mengambil yang bukan haknya, malu memperdaya, mengakali dan menindas saudara sendiri.

Tentu rasa malu yang harus diperjuangkan oleh siapa pun adalah malu untuk berbuat keburukan.

Tetapi untuk berbuat kebaikan harus hilangkan rasa malu. Sebab, malu berbuat kebaikan dan menegakkan kebenaran akan menghambat kemajuan.

Bung Karno pernah berkata: Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya dengan kemajuan selangkah pun.

Mari kita wajib memiliki rasa malu, tetapi tidak malu-maluin. (*)

News Update