Apa yang terjadi? Jawabnya jika diurut, banyak faktor penyebabnya. Bisa karena kondisi sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya.
Sepertinya “rasa malu” perlu dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjadi filter mengatasi beragam penyakit masyarakat (patologi sosial) yang belakangan terasa kian masif dan transparan.
Dulu, untuk berjudi dan minuman keras saja orang melakukannya dengan sembunyi – sembunyi. Karena ada rasa malu kepada keluarga, malu terhadap lingkungan sekitar dan lain-lain.
Ada kesadaran menutup aib karena takut terkena sanksi sosial yang sangat ketat. Apalagi prostitusi dan mencuri serta madat.
Kini, penyakit masyarakat nyata terjadi di sekililing kita seperti korupsi, narkoba dan prostitusi via online (seks bebas dan sejenisnya) begitu terbuka.
Sementara kita tahu adab apa pun, ajaran agama mana pun menyebutkan rasa malu itu sangat penting dan tidak boleh diabaikan sedikit pun.
Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan segala kemuliaan dan sebaliknya, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Malu berarti segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya.
Menyongsong masa depan yang lebih baik lagi, rasa malu mutlak perlu dibudayakan, yang penerapannya dimulai dari pribadi hingga tingkat elite bangsa ini dalam kehidupan sehari – hari.
Untuk menjadi bangsa yang besar dan mandiri, negara kita memerlukan dukungan seluruh rakyat yang memiliki “rasa malu”. Malu untuk korupsi, malu menerima suap dan pungli, malu mengambil yang bukan haknya, malu memperdaya, mengakali dan menindas saudara sendiri.
Tentu rasa malu yang harus diperjuangkan oleh siapa pun adalah malu untuk berbuat keburukan.
Tetapi untuk berbuat kebaikan harus hilangkan rasa malu. Sebab, malu berbuat kebaikan dan menegakkan kebenaran akan menghambat kemajuan.