Lupa Daratan
INI adalah ungkapan bagi seseorang yang demi jabatan atau kepentingannya lantas melupakan etika dan tuntunan moral. Baginya yang penting adalah mempertahankan jabatannya, soal cara, kepatutan, adat istiadat, ajaran agama dsb dilupakannya dan dilanggarnya saja.
Tentu tidak semua pejabat seperti itu, tapi ada. Misalnya, sebelum diberi jabatan, dia getol bilang bahwa kebebasan berpendapat adalah esensi dari demokrasi dan dijamin oleh UU. Artinya, aparat hukum tidak boleh melarang kebebasan berpendapat. Tapi begitu punya jabatan, dia sendiri yang menyuruh penegak hukum untuk menangkapi oposisi.
Sebelum menjabat, dia bilang agar pemerintah harus menjaga kepercayaan rakyat. Sebab jika pemerintah gagal memperoleh kepercayaan rakyat, pemerintah harus mundur. Tapi begitu menjabat, dia sendiri paling getol membuat kebijakan dan tindakan yang menyebabkan rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Dulu sebelum menjabat, dia bilang bahwa agama apapun wajib menjadi pedoman dan tuntunan bagi semua pejabat pemerintahan. Artinya, ajaran agama jangan dipisahkan dari aturan hidup bernegara. Namun lain lagi yang dia katakan setelah menjabat: agama harus dipisahkan dari pemerintahan dan politik karena agama adalah urusan pribadi.
Yang lupa daratan biasanya bergandengan dengan yang lupa kacang akan kulitnya. Maksudnya, pejabat yang suka melanggar omongannya sendiri, biasanya juga lupa akan asal muasalnya.
Misalnya, sebelum menjabat, dia itu orang sederhana karena memang tidak punya uang banyak. Penghasilan pas-pasan, itupun tidak menentu, kadang ada kadang tidak tapi lebih sering tidak ada alias kekurangan.
Tidak heran ketika ada kesempatan menjadi pejabat publik, misalnya menjadi anggota DPR atau DPRD, mereka mati-matian berusaha dan mencoba tanpa peduli akan kemampuannya.
Ketika berhasil menjadi wakil rakyat, misalnya, gaya hidupnya langsung berubah. Jika tadinya hanya main bulutangkis, sekarang main golf. Malahan ketika main golf, caddynya suka dibentak.
Dulu mereka ke kantor naik angkot, trans Jakarta atau gojek, sekarang naik mercy paling kurang baik camry. Tas kerja, fulpen dan kecamatanyapun ogah dia pegang sendiri tapi disuruh pegang kepada ajudannya. Kalau dulu jalannya agak membungkuk, sekarang dada dibusungkan. Jika dulu selalu ramah kepada siapa saja, sekarang tersenyum dan menegurpun susah.
Itulah gambaran dari orang yang dalam lakon wayang disebut Petruk Jadi Ratu. Maksudnya, orang biasa yang tiba-tiba diberi jabatan dan kekuasaan maka prilakunya jadi berubah: ibarat orang biasa dijadikan “raja”.
Prilaku ikutannya adalah rakus. Karena gaya hidup berubah maka pikirannya selalu tertuju pada cara bagaimana memperoleh banyak duit untuk mengongkosi gaya hidupnya itu. Karena itu harus dimaklumi jika korupsi merupakan salah satu cara memperoleh banyak duit. Agar santai melakukan korupsi, berbagai pasal UU yang membatasi korupsi diubahnya. Bahkan lembaga anti korupsipun dilemahkan.
Prilaku rakus seperti itu digambarkan dalam pepatah Jawa dengan sindiran bagai “ketek munggah bale” (monyet naik ke meja, tempat makanan). Biasanya monyet kalau naik ke meja makan maka semua makanan disikatnya.
Berhubung di negara kita sebagian besar warganya masih belum sejahtera, maka apakah kita memang harus melewati masa seperti itu? Artinya apakah kita musti maklum jika ada pejabat yang korupsi dan prilakunya tidak konsisten?
Seharusnya tidak demikian. Korupsi dan prilaku mencla-mencle itu sangat merusak nilai dan norma kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu sepatutnya ada orang yang memiliki kekuasaan tinggi yang bertindak sebagai pencegah dan pengawas pelanggaran hukum para pejabat dibawahnya. Tidak boleh ada pembiaran terhadap korupsi dan prilaku menyimpang seperti itu, sebab jika dibiarkan maka generasi muda akan menganggap korupsi dan semua penyimpangan tersebut sebagai sesuatu yang dibolehkan dan dibenarkan. Jika demikian maka sendi-sendi moral berbangsa akan rusak. (Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).