JAKARTA - Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengapersiasi langkah Kejaksaan Agung yang telah mengingatkan dan menekankan lagi pentingnya penindakan pasal pencucian uang (TPPU) bagi para tersangka tindak pidana korupsi.
Hal itu karena jeratan pasal pencucian uang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
“Kita apresiasi Kejaksaan Agung memberikan penekanan terhadap TPPU, harusnya dipatuhi betul ini. Penekanan ini juga seharusnya bukan hanya sampai Kejaksaan saja tapi juga ke penyidiknya yang menangani perkara,” ujar Yenti, Senin (9/11).
Hal itu disampaikan terkait Langkah Kejaksaan Agung meminta seluruh Kejaksaan di daerah untuk tidak ragu mengenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap tersangka korupsi baik perorangan maupun korporasi berdasarkan alat bukti yang cukup.
Pasalnya sejauh ini, penindakan pasal perkara TPPU baru ditangani oleh Kejaksaan Agung RI dan belum banyak diterapkan oleh Kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia.
Berkenaan dengan penindakan pasal TPPU, Yenti berpendapat bahwa para Jaksa di daerah sudah seharusnya memahami terkait UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah lama berlaku tersebut dan menerapkanya. Ia menjelaskan, memang mulai UU no 15/2002, lantas revisi UU no 35/2003, dan yang berlaku sekarang UU No 8/2010 Tentang TPPU.
“Saya kira harusnya Jaksa di daerah paham betul ini, kita punya UU ini kan sejak tahun 2002 udah lama sekali, sekarang UU No 8/2010 tentang TPPU,” kata Yenti yang juga Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia.
Lanjut Yenti, pengenaan pasal pencucian uang tidak sebatas pada kasus korupsi saja, melainkan juga terkait semua perkara kejahatan ekonomi. Menurutnya, terdapat 26 jenis tindak pidana asal yang dapat dikenakan pidana pencucian uang sebagaimana merujuk pasal 2 ayat 1 UU TPPU.
“Jadi Jaksa Agung juga harus menekankan semua kejahatan ekonomi yang sesuai dengan UU TPPU pakai UU TPPU karena ada 26 jenis kejahatan yang harus ada TPPU diperintahkan begitu,” ungkapnya.
Penggunaan UU pencucian uang, lanjut Yenti dijadikan sebagai jawaban atas ketidakadilan terhadap pelaku kejahatan korupsi yang hukumannya harus setimpal dengan pelaku korupsi, sebab penyidik dapat melacak kemana saja aliran uang hasil kejahatan itu digunakan serta dapat disita dan dirampas untuk dikembalikan.
“Paling tidak yang dirugikan itu bisa berharap uang hasil kejahatanya terlacak yang dirugikan itu siapa, ya tergantung, kalau korupsi, mesti yang dirugikan kan negara, berartikan negara itu sangat diuntungkan kalau memang menggunakan ini (TPPU) kalau tidak itu akan percuma, orang akan korupsi lagi pasang badan, uangnya sudah tidak ada,” bebernya.
Yenti yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini menyarankan Kejaksaan Agung terus melakukan pembinaan dan pengawasan kepada para Jaksa di daerah, serta melakukan koordinasi dengan penyidik yang melakukan pengusutan kasus agar maksimal pelaksaan penindakan hukum di daerah, Kejagung harus.
“UU sudah memerintahkan begitu jadi harus ditekankan oleh Jaksa Agung, tapi harus koordinasi dengan penyidik, caranya penyidiknya mendengarkan, sehingga sejak awal sudah disidik dicari uangnya kemana, karena kalau kelamaan terlambat, percuma,” terangnya.
Segaimana diketahui, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menggelar rapat koordinasi teknis (rakornis) bersama jajarannya di seluruh Indonesia. Jampidsus Kejagung Ali Mukartono menyoroti sejumlah hal, salah satunya terkait kepengurusan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) di kejaksaan seluruh Indonesia. (*/win)