PASCA disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang, kondisi kamtibmas di berbagai daerah mulai bergolak. Naiknya tensi kamtibmas sudah mulai terasa sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Karena proses lahirnya Omnibus Law ini sudah menuai kontroversi dan penolakan sejak awal ketika pembahasan pasal demi pasal di DPR RI.
Telunjuk kemarahan kaum buruh, para pekerja dan elemen lainnya diarahkan ke pemerintah dan wakil rakyat di Senayan. Imbasnya, aksi anarkis muncul di sejumlah daerah, dan aparat kepolisian yang mengemban tugas menjaga keamanan, harus menanggung kemarahan massa. Di Bandung, kendaraan dinas dirusak, fasilitas sejumlah gedung rakyat juga rusak, Selasa (6/10/2020). Di Jakarta, kendaraan tahanan polisi juga dirusak massa, Rabu (7/10/2020). Begitu pula di sejumlah daerah lainnya.
Dari kubu massa, pendemo juga banyak yang ‘tumbang’. Sejumlah video aksi demo yang diunggah di media sosial, menampilkan gambar peserta demo yang luka berdarah-darah akibat bentrokan. Situsasi panas ini diprediksi masih akan terus terjadi, sebelum ada titik temu antara pekerja, pemerintah dan wakil rakyat.
Seperti diketahui, kalangan buruh masih menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Karena ketentuan dalam klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja dianggap banyak memberangus hak-hak buruh dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah dan DPR dinilai tidak peduli dengan aspirasi kaum buruh, dan dituduh memihak ke pengusaha.
Di tengah pandemi Covid-19 yang mendera masyarakat, kondusifitas kamtibmas terancam terganggu sebagai imbas dari penolakan UU Cipta Kerja. Situasi ini menambah persoalan baru di tengah krisis kesehatan dan krisis ekonomi yang tengah melanda negeri ini. Kegaduhan ini juga menambah beban psikologis masyarakat.
Celakanya, DPR yang menjadi tumpuan harapan, malah tidak bisa menjadi tumpuan. Publik berharap, konflik ini tidak berkepanjangan. Para legislator yang duduk di Senayan, jangan menutup pintu. Sebagai wakil rakyat, tampung aspirasi rakyat dan kedepankan dialog.
Jangan biarkan rakyat berbenturan. Jangan biarkan pendemo dan aparat ‘perang’ di lapangan. Karena menyelesaikan masalah ini bukan cuma melalui pendekatan keamanan, namun diperlukan keputusan politis. Semua elemen masyarakat ingin kondusivitas kamtibmas tetap terjaga. **