KARTOMO (40), pamong dari Ponorogo (Jatim) ini mirip Kartomarmo wayang kulit. Diam-diam dia nginceng Indri (30), istri Pak Kades.
Setelah dicerai Pak Kades, si janda mau diambil alih tapi keburu dinikah siri Jumingan (35).
Kartomo pantang menyerah, meski sudah jadi bini orang berhasil dikencani 5 kali sampai kepergok suaminya.
Dalam kisah wayang kulit, Kartomarmo dari Tirtotinalang diam-diam naksir Banowati istri Prabu Duryudana.
Ketika Duryudana tewas dalam perang Baratayuda, Kartomarmo hendak memperkosa janda Banowati, tapi gagal saat “kanon” sudah dikokang.
Baca juga: Curhatan Abang Ojol Hadapi Corona: Saya Lebih Takut Istri dan Anak Gak Makan
Akhirnya, dia mati terhina di pertapan Grojogan Sewu, dibunuh Sencaka “ajudan” Baladewa, agar tidak ngoceh soal Perang Baratayuda.
Perjalanan nasib Kartomo pamong desa di Slahung Kabupaten Ponorogo, mirip-mirip seperti itu.
Melihat istri Pak Kades yang cukup cantik, ukuran celananya sering berubah.
Ini kan kelewatan, bagaimana mungkin istri atasan sendiri kok ditaksirnya.
Kartomo sudah diberi kenikmatan pangkat, kok masih ingin menjadikan bini Pak Kades jadi medan pelampiasan syahwat.
Sadar akan statusnya, kegiatan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indri) versi Kartomo terpaksa tiarap dulu untuk sementara waktu. Angin baik muncul ketika tiba-tiba Indri diceraikan Pak Kades.
Baca juga: Gegara Corona, 'Captain America' Chris Evans Marahi Trump: Jangan Sembrono!
Celakanya, baru mau ancang-ancang tahu-tahu Indri sudah dikawin siri oleh Jumingan, warga setempat. Padahal senjata dua belas komah tujuh sudah kadung dikokang.
Tapi Kartomo memang bukan tipe lelaki gampang menyerah. Meski sudah jadi bini orang, masih juga mau ditelateni.
Posisinya sebagai pamong desa rupanya punya nilai tambah tersendiri, setidaknya untuk Indri yang berbodi sekel nan cemekel tersebut.
Maka ketika bendera KAMI-nya Kartomo mulai dikibarkan, rupanya Indri memberi respons. Artinya dia siap diselamatkan dan siap menawarkan sejuta kenikmatan.
Secara intensif pamong desa Kartomo ini mendeklarasikan cintanya ke rumah Indri.
Waktunya sengaja malam hari, ketika Jumingan suaminya tak ada di rumah. Jan umeg tenan (sungguh mengasyikkan), meski sudah tangan ketiga ternyata Indri memang masih enak dikendarai.
Baca juga: 33 Alumni SMK Pesta Miras dan Narkoba di Villa, 12 Diantaranya Positif
Mesin anteng dan knalpotnya selalu berair saat dipanasi, sampai-sampai sudah empat kali Kartomo “test drive” atas Indri.
Peluang ke-5 kalinya hadir ketika Jumingan pamitan ke istri hendak ke Bungkal.
Ternyata, begitu suami pergi Indri langsung kontak Kartomo untuk segera “test drive” lagi.
Tentu saja rindhik asu digitik (baca: dengan cepat) pamong desa itu meluncur ke TKP (Tempat Kejadian Perselingkuhan).
Enak bagi Kartomo-Indri, tak enak perasaan bagi Jumingan dalam perjalanan ke Bungkal.
Dia segera balik kembali ke rumah, dan dia curiga karena lampu dimatikan dan pintu dikunci dari dalam.
Lewat pintu belakang Jumingan berhasil masuk, dan alangkah kagetnya begitu ada di dalam nampak kamituwa (pamong) Kartomo ada di dalam hanya pakai celana kolor dan kaos singlet cap Kidang.
Langsung Jumingan teriak memanggil warga. Sebelum habis dikeroyok warga Kartomo nekad kabur duluan.
Baru beberapa hari kemudian bisa ditangkap dan disidangkan bersama Indri. Keduanya mengaku sudah berhubuangan intim sebanyak 5 kali termasuk yang baru ketahuan beberapa malam lalu.
Baca juga: 17 Ekor Kambing Milik Santri di Bekasi Raib, Jeroan Berserakan di Kandang
Pak Kades sesuai tuntutan warga memberi sanksi. Pertama, Kartomo harus mundur dari jabatan kamituwa.
Kedua, bayar denda 400 sak semen 40 Kg sebagai sanksi adat, atau bebas denda tapi diarak keliling kampung seperti karnaval 17-an. Pilihan yang berat, sebab sanksinya menguras isi kantong gara-gara mau manjakan “si entong”.
Ketimbang diarak keliling kampung sama saja dipermalukan secara terbuka, Kartomo memilih bayar denda 400 sak semen yang bernilai sekitar Rp20 juta.
Tapi soal harus mundur dari jabatan, Kartomo tak serta merta mengiyakan. Sebab harus berdasarkan payung hukum, artinya ada keputusan hitam putih dari pihak Kecamatan atau Kabupaten.
Jika tidak, Kartomo tak mau meninggalkan jabatannya. “Keputusan datang pagi, sorenya saya mundur. Putusan datang sore, saya paginya mundur,” katanya.
Kalau putusan tengah hari, mundurnya tengah malam? (trb/gunarso ts)