Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya,

Opini

Sopan Santun

Minggu 20 Sep 2020, 06:30 WIB

BELAKANGAN ini saya merasa makin banyak orang, terutama yang muda, lupa akan sopan santun atau etika pergaulan. Mungkin hal ini disebabkan oleh kurikulum sekolah kita di tingkat dasar yang tidak lagi mengajarkan pelajaran budi pekerti seperti di jaman saya sekolah dasar. 

Sudah tidak diajari budi pekerti ditambah lagi dengan masuknya dengan deras pengaruh prilaku asing, terutama Barat, melalui film dan video. Karena itu sebagian generasi muda menganggap bahwa prilaku dalam budaya asing itulah yang benar sehingga ditiru.

Misalnya, anak muda sekarang santai saja menyilangkan kaki atau bahkan duduk nongkrong di kursi meskipun di depannya sedang ada orangtua atau mertuanya. Mereka merasa tidak perlu dan tidak risih melakukan hal itu. Beda dengan prilaku kita yang lebih tua yang pasti akan segera menurunkan kaki ketika orangtua atau senior mendatangi kita. 

Bukan hanya soal kaki nongkrong. Kita lihat sebagian warga tidak lagi mengindahkan sopan santun ketika menaiki motor di halaman rumah orang. Mereka santai saja masuk rumah naik motor, tidak dituntun. Tidak heran jika di Surabaya banyak pintu masuk gang yang ditulusi : “Ngebut Benjut”. Maksudnya turunlah dari motor jika masuk ke gang jika tidak ingin kepalanya benjol ditonjok. 

Dalam berinteraksi melalui gawai, saya juga sering mendapat WA atau SMS yang terasa kurang sopan. Misalnya, setelah kita menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar, dijawab hanya dengan satu kata: “ Tks”. Maksudnya Terimakasih. Apa tidak bisa menuliskan misalnya “Terimakasih pak/bu atas penjelasannya”. Kan lebih enak diterima oleh lawan diskusinya. 

Hal demikian itu tidak perlu terjadi apabila masing-masing pihak yang berkirim WA/SMS membayangkan seperti sedang berhadapan muka. 

Kemarin saya juga mendengar pernyataan lewat video dari seorang petinggi yang memberikan penghargaan terhadap para dokter dan petugas medik atas pengabdian mereka melawan Covid-19. Petinggi itu saya kira berusia pertengahan 50an dalam pidatonya menyebut para dokter dan petugas medik dengan menyebut “kalian telah berjasa kepada bangsa dan negara....”

Saya pikir meskipun memuji tapi karena menyebut para dokter yang mungkin usianya lebih senior dan jabatan dokter tidak lebih rendah daripada petinggi tsb, saya menganggap petinggi tsb kurang memiliki etika. 

Akan lebih elok apabila petinggi tersebut menyampaikan pujiannya dengan memakai istilah “bapak dan ibu telah berjasa”, atau boleh pakai “anda telah berjasa”. 

Bahasa itu termasuk Bahasa Inggeris memiliki gradasi istilah untuk mengungkapkan penghargaan kepada lawan bicara. Karena itu ada ungkapan “bahasa itu budaya”. Maksudnya dari pemilihan kata yang dipakai seseorang untuk mengungkap kepentingannya tercermin tinggi rendahnya budaya penuturnya.

Sayang sekali tidak ada upaya untuk melestarikan adab dan sopan santun anak bangsa dari para pendidik khususnya Kemendikbud. Padahal selain bahasa, sopan santun itu cermin budaya bangsa.

Itulah sebabnya bangsa Jepang sangat memelihara dan menjaga adab dan sopan santun mereka. Tidak ada orang Jepang yang tidak membungkukkan badan saat bertemu apalagi merasa berterimakasih kepada orang lain. 

Tapi saya kira bukan hanya kita manusia yang mulai kehilangan sopan santun. Kucingpun juga mulai kurang ajar. Dulu saat saya kecil dan remaja tahun 1960an saya masih melihat kucing kalau pub akan menggali lubang dengan kakinya. Jika sudah selesai dia akan menimbun lubang dan  mencium lubang pub-nya itu. Jika masih bau, kucing itu akan menimbunnya lagi.

Tapi kucing sekarang yang sudah modern, pub di sebarang tempat dan tidak pernah menggali lubang lagi apalagi menciumnya ketika usai pub. Jadi rupanya kucing, mungkin juga binatang lain, ikut-ikutan ulah manusia menjadi makin tidak berbudaya.

(Prof DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
OpiniSopan Santunposkota

Reporter

Administrator

Editor