JAKARTA - Kerugian Pertamina (Persero) sebesar 767,92 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 11,13 triliun (kurs Rp 14.500/Dollar AS) pada semester I 2020 menjadi sorotan.
Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi dalam rilisnya yang diterima Selasa (25/8) mengatakan, kerugian Pertamina sebesar Rp.11,33 triliun harus diselidiki oleh aparat hukum. Sebab itu diduga bukan kerugian bisnis.
"Sebab itu aparat Hukum jangan tersihir dengan alasan kerugian Pertamina disebabkan fluktuasi rupiah terhadap Dolar AS. Fkuktuasi ini kan terjadi sejak 2019, kok dijadikan alasan utama ?," terang Uchok.
Alasan Pertamina rugi karena volume penjualan yang turun juga tidak masuk akal karena volume penjualan , sebetulnya bisa ditutupi dengan harga jual BBM kepada masyarakat yang tidak mengalami penurunan, atau tetap mahal ketika harga BBM internasional sedang anjlok turun ke titik terendah.
"Pertamina seharusnya lebih survive bila dibandingkan dengan negara negara ASEAN. Di negara Asean, volume penjualan juga mengalami penurunan, tetapi perusahaan tetap memperoleh keuntungan. Misalnya, Petronas, Malaysia tetap memperoleh keuntungan meskipun di negara tersebut harga BBM rata rata turun hampir sekitar 50%," tandas Uchok.
Uchok juga tidak menerima alasan kerugian Pertamina disebabkan melemahnya harga minyak mentah dunia adalah sebuah kontradiktif. Justru dengan melemahnya harga minyak dunia, Pertamina mendapatkan keuntungan karena harga beli minyak mentah dan produksi menjadi murah.
"Di Indonesia sendiri harga minyak dijual kepada masyarakat dengan harga tinggi, meskipun harganya minyak dunia turun," papar Uchok.
Sebab itu, Uchok meminta Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir jangan diam saja untuk menyikapi kerugian Pertamina. Harus segera mengambil langkah dalam penyelamatan perusahaan pertamina tersebut. Di antaranya dengan segera mencari pengganti Nicke Widyawati. (johara/tha)