BERKUASA itu butuh nyali selain kecerdasan dan keahlian. Sebab begitu berkuasa, pasti akan ada orang lain yang mengkritik dia bahkan menentangnya.
Begitulah adat dunia. Mana ada orang yang selalu benar dalam tindakannya dan bisa memuaskan semua orang? Merasa sudah berbuat baik, ada saja yang merasa diperlakukan sebaliknya. Merasa sudah bersikap adil, masih ada yang merasa dicurangi. Namanya juga manusia.
Jadi, menjadi penguasa itu harus punya nyali, juga harus punya kemampuan untuk mendengar dan menerima pendapat yang berbeda serta punya kebesaran hati untuk dikritik dan ditentang orang.
Makin besar dan makin luas sebuah negara akan makin besar potensi kritik dan perbedaan pendapat. Karena itu diciptakanlah sistem demokrasi untuk menjamin kebebasan berpendapat dan kemerdekaan melakukan kritik terhadap penguasa.
Sebab dalam pandangan demokrasi, semua manusia baik penguasa maupun yang dikuasai, semuanya memiliki kepentingan sekaligus kelemahan. Karena itu semua warga berhak mengajukan pendapat mereka dan untuk mengemukakan kepentingan mereka.
Jadi bukan hanya penguasa yang dijamin kepentingan dan haknya melainkan juga rakyat biasa.
Nah, kepentingan itulah yang sering berbenturan antara yang berkuasa dan yang menguasai. Jika benturan itu tidak dikelola dengan baik, bisa membesar dan menjadi konflik.
Siapa yang harus mengelola berbagai kepentingan tersebut? Tentu kedua pihak tapi kewajiban utama terletak pada si penguasa. Rakyat memang harus ikut mengelola agar kepentingan mereka bisa dijaga agar tidak berbenturan dengan kepentingan lain dan tidak menabrak aturan.
Tapi penguasa selain harus membuat, melaksanakan dan mengawasi peraturan, juga tidak boleh bersikap anti terhadap perbedaan pendapat. Mereka harus selalu bersedia mendengarkan kepentingan dan keluhan rakyat dan sebisa mungkin menerima dan merealisasikan kepentingan rakyat tersebut.
Memang menjadi penguasa membutuhkan banyak kesabaran, kebijaksanaan dan nyali yaitu keberanian menghadapi kritik. Sebab jika tidak, benturan pasti akan terjadi antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Dalam situasi penuh kontradiksi itulah kita bisa menilai apakah penguasa itu demokratis atau tidak. Kalau penguasa secara bijak selalu bersedia mendengarkan aspirasi rakyat, bisa kita sebut dialah penguasa demokratis. Jika penguasa itu menggunakan cara-cara persuasi dan berdiskusi dalam memecahkan persoalan, maka dialah penguasa yang demokratis.
Namun sebaliknya, jika penguasa mengerahkan aparat hukum untuk menangkap rakyatnya yang berbeda aspirasi, kita sebut dia otoriter. Kalau penguasa menggunakan kekuasaannya untuk mencegah pers menyiarkan kritik, kita sebut dia anti demokrasi. Ini berarti juga penguasa tersebut tidak punya nyali menghadapi kritik.
Rakyat sendiri pasti akan selalu dinilai demokratis. Sebab rakyat adalah pemilik kedaulatan. Rakyatlah yang memberikan hak untuk memerintah kepada penguasa dan mencabutnya kembali jika dikehendaki.
Sebab itulah hampir semua filsuf dan cerdik pandai menyarankan agar siapapun yang diberi tugas untuk berkuasa agar selalu sadar akan tugasnya untuk melindungi yang dikuasainya. Melindungi itu maksudnya selain mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan, juga memberikan, antara lain, perlakuan yang adil kepada rakyatnya.
(Prof Amir Santoso, Guru Besar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)