JAKARTA - Dua vokalis politik, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, yang sering menjadi kontroversi di masyarakat, akan mendapat penghargaan dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Keduanya sering mengkritik keras dan tajam kepada Jokowi dan pemerintahannya.
Sontak saja, kabar ini meledak, seantero. Di satu pihak khawatir, setelah diberi penghargaan, keduanya nanti akan kelu lidah dan tidak kritis lagi.
Di pihak lain, sangat heran kenapa Fahri Hamzah dan Fadli Zon diberi penghargaan, apa sumbangan dia buat pemerintah dan negara, apa kemampuannya. Di mata mereka Fadli dan Fahri hanya bisa "nyinyir" alias asal bunyi, dan hanya mengkritik Jokowi dan pemerintahannya.
Bintang Jasa
Bintang Mahaputera Nararya, penghargaan yang diberikan warga sipil yang dianggap berjasa, akan diberikan pada dua mantan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, pada peringatan hari kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang.
Hal itu pertama kali diungkap Menkopulhukam Mahfud MD dalam akun Twitter resminya.
Bagi keduanya, bila benar mendapat Bintang Mahaputera, maka akan membuat dua politikus menerima sejumlah hak, termasuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata ketika mereka meninggal dunia.
Kembali kepada masalah di atas, banyak yang menilai pemberian bintang penghargaan itu untuk upaya pemerintahan Jokowi membungkam dua politikus lulusan UI itu.
Terkait hal itu, ada pendapat menarik dari pengamat budaya Jawa Ki Jogo Warto. Ia mengingatkan keduanya tentang falsafah aksara Jawa, yakni soal pangkon (dadi kata pangku + an). Aksara yang diberi pangkon atau dipangku pasti akan mati.
Baca juga: Getol Mengkritik Presiden Jokowi, Fahri Hamzah dan Fadli Zon Dapat Bintang Jasa
Menurut Ki Jogo Warto, masalah pangkon itu sering dibawa ke dalam wacana politik, yakni untuk terus mengingatkan kepada siapa pun yang punya hati nurani kebenaran untuk tetap bersuara lantang. Orang atau politisi akan kehilangan daya kekuatan kalau dipangku, diberi yang enak-enak, yang membuatnya terlihat terpandang atau terhormat. Ini semacam menina-bobokan, agar terlena.
"Termasuk Pak Fadli Zon dan Pak Fahri Hamzah, beliau sedikit-sedikit kan juga mengerti budaya Jawa, perlu selalu ingat falsafah pangkon itu," ujarnya.
Ki Jogo mewanti-wanti, kalau nanti jadi mendapat bintang Mahaputra dari Presiden Jokowi, dia berharap tak melupakan falsafah pangkon tersebut.
"Kalau punya pendapat yang diyakini benar, Pak Fadli dan Pak Fahri Hamzah harus tetap lantang, kritis. Tinggal cara penyampaiannya saja kok, dengan bintang itu mungkin bicaranya bisa lebih diperhalus tanpa menghilangkan kekritisan," ungkap Ki Jogo.
Politik ala Jawa
Menurut dia, menjadi kritis bukan berarti pengkhianat bangsa. Itu sudah dilakukan PDIP, 10 tahun kritis kepada pemerintahan SBY, akhirnya dihargai rakyat. "Buktinya, politisi PDIP dipilih jadi Presiden," ujarnya.
Saat didesak soal keluarnya penghargaan dari Istana itu, apakah karena hal itu merupakan taktik politik ala Jawa untuk merangkul kaum kritis, karena di lingkaran Istana penuh orang Jawa, Ki Jogo tak menampiknya.
"Ya, ada sisi benarnya. Ya di sana ada Pak Sukardi Rinakit, Pak Muldoko, Pak Pramono Anung, Pak Prof Pratikno, beliau-beliau orang canggih-canggih, lentur cara berpolitiknya," katanya.
Mantan Pimpinan DPR
Tapi Ki Jogo juga merujuk penjelasan keduanya, yakni memang para pimpinan DPR terdahulu juga mendapat hal yang sama. Ia juga merujuk penjelasan Menko Polhukam Mahfud MD di akun Twitternya.
"Pak Mahfud kan juga bilang gitu, mantan pejabat, mantan ketua/ wakil ketua lembaga negara, mantan menteri dan yang setingkat mendapat bintang jasa seperti itu jika selesai tugas dalam satu periode jabatan.
Baca juga: Fahri dan Fadli akan Dapat Bintang Tanda Kehormatan, Pengamat: Sudah Tepat
"Itu kalau bicara aturannya. Tapi penerapannya dalam politik, masyarakat bisa menilai. Jadi, jangan lupa falsafah aksara Jawa, aksara yang dipangku itu mati," ujar Ki Jogo. (win/ys)