Oleh Harmoko
Dalam seni pewayangan banyak sekali kisah yang disajikan, di antaranya lakon "Semar mbangun kahyangan." Cerita ini mengisahkan sebuah negeri yang tengah ditimpa masalah (musibah).
Membangun kahyangan menjadi satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan segala problema tersebut, sebagaimana pendapat Semar yang memiliki 'penglihatan' lebih.
Membangun kahyangan bukan berarti membangun istana megah. Bukan membangun kerajaan besar. Bukan pula membangun sebuah negeri baru.
Membangun kahyangan adalah membangun manusia seutuhnya. Membangun keunggulan manusia mulai dari sikap perilakunya, budi pekertinya, mental spiritualnya. Itulah pesan moral yang hendak disampaikan dari lakon ini.
Maknanya bagaimana menciptakan manusia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia. Membangun manusia yang beradab, patuh terhadap segala norma baik norma agama, negara, sosial, adat dan budaya bangsa. Norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Esensi pesan moral yang patut kita petik adalah mengetahui siapa diri kita dan bagaimana sebaiknya bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari- hari. Tentu saja dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu dan sosial. Lebih - lebih sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
Dalam konteks kekinian, di mana negeri kita sedang menghadapi pandemi berikut dampak yang menyertainya, kita semua dituntut ikut berkontribusi "membangun kahyangan." Berkontribusi bukan berarti harus berada paling depan, berperan aktif memberantas Covid - 19.
Jika beramsumsi penanganan Covid19 sudah ada yang mengambil peran sesuai tugas dan tanggung jawabnya, maka kita sebagai warga negara wajib mendukung kelancaran pelaksanaan tugas.
Yang paling sederhana, bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita mematuhi protokol kesehatan sebagai bagian dari upaya mencegah penyebaran Covid-19.
Mematuhi protokol kesehatan selain melindungi diri sendiri dan keluarga, juga sudah ikut berperan melindungi orang lain dari kemungkinan penyebaran virus Corona. Tidak patuh, berarti membuka peluang diri sendiri dan keluarganya terpapar virus. Giliran berikutnya membuka peluang menularkan kepada lingkungan sekitar.
Tidak taat norma, perilaku yang digambarkan tak sejalan dengan upaya membangun negeri. Tidak tergerak hati untuk memperbaiki negeri dari kondisi tersulit akibat penyebaran penyakit kronis (pagebluk).
Jauhi perilaku semacam ini, juga sifat kurang peka terhadap lingkungan sekitar. Sikap mau menang dan benar sendiri, maunya sendiri, hendaknya ditinggalkan. Itu bentuk tatanan lama yang sudah usang, tak sesuai dengan situasi era kini.
Saatnya berperilaku dengan tatanan baru, setidaknya mulai beradaptasi dengan adab kebiasaan baru. Utamanya patuh terhadap norma, adat dan etika budaya bangsa yang saat ini tengah digelorakan di seantero penjuru negeri.
Idealnya taat norma terbentuk atas kesadaran diri, bukan karena terpaksa. Tetapi jika tidak muncul juga kesadaran diri, negara berwenang menyadarkan.
Terbitnya Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), bentuk dari upaya proses penyadaran.
Tentu di dalamnya terdapat "upaya paksa" dengan memberikan sanksi kepada para pelanggar norma. Mari kita kedepankan jati diri bangsa Indonesia asli dengan menaati norma atas kesadaran diri, bukan karena disadarkan, apalagi sampai dipaksakan.
Bukankah lebih terasa nyaman kepatuhan tercipta atas kesadaran sendiri, ketimbang disadarkan, apalagi sampai diancam orang lain.(*).