JAKARTA - Wabah Corona bukan hanya berdampak pada semua sektor. Kehidupan rumah tangga pun ikut terguncang. Buktinya, banyak suami istri yang terpaksa cerai, karena kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Seperti di Jakarta Pusat. Selama lima bulan terakhir, tercatat 600 pasang suami istri mengajukan perceraian. Mereka mendaftarkan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Ketua Pengadilan Negeri Agama Jakarta Pusat, Sirajuddin Sailellah mengatakan angka perceraian di Jakarta Pusat mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19.
“Perceraian meningkat dan cukup tinggi. Selama Maret hingga 21 Juli 2020, Tercatat ada 600 pasangan suami istri (pasutri) mengajukan perceraian,” jelasnya, Selasa (21//7/2020).
Sirajuddin menjelaskan perkara gugatan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat setiap bulannnya mencapai 250 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 150 perkara telah diputus atau diselesaikan.
Kepala Pengadilan Agama juga memaparkan faktor penyebab perceraian ada beberapa kasus, seperti perselisihan, pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masalah ekonomi dan faktor lainnya.
“Jadi kalau dibandingkan tahun 2019, angka perceraian selama 2020, meningkat cukup tinggi,” ujar Sirajuddin.
DIAJUKAN ISTRI
Di wilayah lainnya angka perceraian juga naik. Seperti di Jakarta Selatan, bulan lalu angka gugatan cerai meningkat dan kebanyakan diajukan oleh istri.
Humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan, H. Cece Rukmana Ibrahim beberapa lalu mengatakan selama pandemi virus corona, jumlah gugatan perceraian meningkat. Pada Juni lalau, dalam tiga minggu sudah ada 360 perkara yang masuk dan paling banyak diajukan oleh dari pihak istri.
KUATKAN KEIMANAN
Sementara itu, Seketaris Dakwah MUI DKI Jakarta, KH Misbahul Munir ketika dimintai tanggapan terkait tingginya angka perceraian di Jakarta Pusat, mengaku sangat prihatin. Menurut dia terjadinya perceraian ini dikarenakan beberapa sebab mulai faktor ekonomi, KDRT dan lain-lain.
“Penyebab terjadinya perceraian ini dikarenakan masyarakat tingkat stresnya cukup tinggi. Karena di rumah saja sehingga menjadi tidak terkendali. Selain itu faktor ekonomi dan keimanan sehingga membuat mereka mengambil sikap yang tidak terkendali yang tidak seharusnya terjadi,” kata Misbahul Munir.
Ditambahkan, saat ini masyarakat sudah akrab dengan hendphone atau gadget dan media sosial sehinggga dengan mudah tercurahnya ke sana-kemari. Akibatnya, banyak yang manfaatkan kondisi seperti itu.
Mishabul Munir mengatakan faktor ekonomi saat ini juga menjadi penyebab tingginya kasus perceraian. Ia mengimbau masyarakat untuk meningkatkan keimanan, rasa syukur dan selalu sabar dalam menghadapi kehidupan.
“Pesan saya kuatkan keimanan, banyak bersyukur dan sabar. Jika hal itu sudah terpatri dalam diri, tidak akan berdampak suami marah pada istri atau sebaliknya, sehingga tidak akan terjadi gugat cerai,” ucapnya. (wandi/ta/ird)