Prof Amir Santoso, guru besar UI, rektor Universitas Jayabaya.

Opini

Museum dan Warisan Masa Lalu

Minggu 12 Jul 2020, 06:15 WIB

ISTERI saya memberitahu bahwa menurut berita di media massa, museum Louvre di Paris akan dibuka kembali setelah lockdown. Tapi pengunjungnya dibatasi hanya 10 ribu orang.

Padahal biasanya, sebelum lockdown, museum tersebut dikunjungi oleh rata-rata 50 ribu pengunjung setiap hari. Bisa dibayangkan berapa Franch yang dihasilkan oleh satu mesium itu saja. Di Paris saja ada beberapa museum lain selain Louvre.

Kota-kota besar di Eropa dan Amerika Serikat pada umumnya memiliki beberapa museum dan beberapa diantaranya namanya terkenal.

Misalnya Smithsonian di Washington DC. Masing-masing museum itu memiliki keunikan isinya. Tapi tentu saja semuanya memamerkan barang-barang warisan masa lalu. 

Di Louvre, misalnya kita bisa menyaksikan Lukisan Monalisa karya Leonardo Da Vinci yang sangat terkenal itu. Ketika saya masuk ke Louvre saya pikir akan bertemu dengan lukisan Monalisa tersebut dalam pigura besar.

Eh ternyata piguranya kecil saja. Itupun dipagari supaya pengunjung tidak bisa merabanya. Mungkin takut rusak. 

Di Smithsonian Washington kita bisa menyaksikan berbagai roket ruang angkasa dan penerbangan yang pernah diproduksi oleh AS. Namun di museum-museum tersebut seperti juga museum di London, banyak dipamerkan lukisan dari para pelukis negara tersebut pada masa lalu. 

Di Cairo, Mesir pun juga ada ada museum besar yang menyimpan tubuh mummi beberapa Firaun serta peninggalan mereka. Juga ada museum besar di kota Alexandria, di Mesir juga, yang dianggap sebagai kota para Firaun di masa silam. 

Ketika di Cairo, dalam perjalanan melakukan umrah, saya dan isteri menyempatkan diri mengunjungi museum. Sempat juga melihat mumi Firaun serta barang-barang peninggalan mereka tapi dilarang memotretnya. 

Mumi-mumi itu terbungkus kain putih dan hanya tampak wajahnya. Yang terkenal adalah mumi Tut An-Khamun, Firaun yang mati muda dalam usia 32 tahun.

Barang-barang milik Tut juga dipamerkan seperti ranjangnya, kursinya, mejanya, mahkotanya, kereta perangnya, dan juga anjingnya. Anjing itu juga dijadikan mumi. 

Ketika di museum itu saya bertanya siapa Firaun yang mengejar Nabi Musa dan tenggelam di laut? Pihak museum tidak berani memastikan karena terlalu banyak versi.

Tapi mereka cenderung memperkirakan  satu mumi sebagai Firaun pengejar Musa karena salah satu telapak kaki mumi itu putus seperti bekas digigit ikan dan wajahnya putih seperti bekas terendam ribuan tahun di lautan.

Tapi itu baru perkiraan mereka saja. Museum Cairo sangat besar sehingga menurut penjaganya, kita butuh 3-4 hari untuk menyaksikan semua yang dipamerkan. Luarbiasa.

Ketika berkunjung ke Beijing saya dan keluarga sempat berkunjung ke Tembok Besar dan kompleks pemakaman kaisar-kaisar China jaman dulu yang terletak di bawah tanah.

Melihat saya dan keluarga selama di China lebih sering mengunjungi tempat-tempat bersejarah termasuk masjid tertua di Beijing yang dibangun th 996 M, pemandu wisata saya heran.

Kata dia, saya dan keluarga adalah wisatawan Indonesia yang berbeda karena tidak langsung  mengunjungi mal begitu tiba di Beijing seperti wisatawan Indonesia lainnya. 

Minat seperti itulah yang kemudian memberikan kesadaran kepada saya mengapa museum-museum di tanah air merana kesepian jarang pengunjung.

Masyarakat kita tidak menyukai sejarah dan peninggalan nenek moyang. Masyarakat kita lebih menyukai mal dan pusat-pusat belanja lainnya daripada mengunjungi museum. 

Mengapa demikian? Saya pikir ini semua adalah buah dari pendidikan di sekolah PAUD dan SD.  Kita tidak diajari sejarah secara serius dan tidak pernah diajak oleh guru untuk mengunjungi museum.

Malahan saya dengar sekarang ini pelajaran sejarah ditiadakan demi menutupi peristiwa tertentu di masa lampau yang tidak ingin diketahui oleh generasi muda. 

Akibatnya hampir semua dari kita buta sejarah dan tidak mencintai kenangan masa lalu. Padahal sejarah dan peninggalan nenek moyang itu mengandung bahan pengetahuan yang kaya raya tentang perkembangan suatu bangsa sejak masa awal sampai sekarang.

Dari pengetahuan sejarah itu kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan nenek moyang kita atau sebaliknya untuk memperoleh inspirasi dari mereka. 

Kelangkaan pengetahuan sejarah di kalangan generasi muda kita dengan mudah bisa kita deteksi jika bertanya kepada mereka. Misalnya banyak dari generasi muda itu tidak tahu siapa Ken Arok, Ken Dedes, Tunggul Ametung.

Mereka tidak pernah mendengar nama raja-raja Mataram seperti Sultan Agung, Amangkurat dll. Mereka juga tidak tahu bahwa pernah ada berbagai pemberontakan di Indonesia termasuk Kudeta 1965. 

Kelangkaan pengetahuan sejarah itu akan sangat merugikan perkembangan bangsa kita. Sebab mereka secara perlahan akan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia karena kehilangan kebanggaan sebagai pewaris bangsa yang pernah besar di masa lalu.

Bagaimanapun sejarah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, misalnya, adalah bahan pembangkit nasionalisme bagi generasi muda kita. 

Lain dari itu kunjungan ke museum pasti akan membangkitkan kecintaan generasi penerus terhadap karya-karya susastra dan buku-buku lama.

Pelajaran sejarah, dengan demikian, akan makin diminati begitu juga minat membaca. Kita tahu bahwa dalam soal membaca buku, bangsa kita boleh dikata sangat tidak menyukai.

Jika di Jepang dan di berbagai kota besar dunia lainnya, kita selalu menyaksikan warga dan anak-anak muda asyik membaca buku di kereta api atau bus kota, sebaliknya di negara kita yang banyak kita saksikan adalah orang yang sedang tidur di kereta dan bus kota.

Dengan demikian keheranan pemandu wisata di Beijing tadi bisa terjawab mengapa lebih banyak wisatawan kita langsung ke mal jika sedang berwisata, bukan ke museum.

Soalnya program pendidikan kita memang tidak diarahkan untuk mencintai sejarah tapi diarahkan untuk hidup konsumtif. Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah pelajaran sejarah masih akan tetap dihapus dari kurikulum atau diajarkan lagi secara serius?

Dalam pandangan saya, pahit manis peristiwa sejarah semuanya tetap harus diajarkan agar generasi muda kita bisa memetik pelajaran berharga dari pengalaman nenek moyang mereka.

(Prof DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)

Tags:
museumdan warisan masa lalu

Reporter

Administrator

Editor