RESHUFFLE kabinet dalam sebuah pemerintahan bukan hal yang aneh.Setiap tahun bisa dilakukan reshuffle (perombakan kabinet), jika kepala pemerintahan menghendaki. Tentu, perombakan dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau dalam keadaan mendesak.
Kebutuhan dimaksud berdasarkan berbagai pertimbangan. Bisa karena pertimbangan politik,dukungan politik atau partisipasi politik. Bisa juga karena untuk memperkokoh bangunan koalisi.
Kita paham, di negara yang menganut multipartai seperti negeri kita, kokohnya koalisi akan memperkuat dukungan politik di lembaga legislatif ( DPR – MPR) yang pada gilirannya akan memperlancar pelaksanaan program kerja pemerintahan.
Sebaliknya, jika koalisi lemah akan melemahkan dukungan politik yang dapat berakibat kepada munculnya hambatan jalannya pemerintahan, setidaknya sikap kritis atas kebijakan. Meski sikap kritis sangat diperlukan sebagai bentuk pengawasan /kontrol jalannya pemerintahan.
Di negara mana pun, oposisi diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang. Bahkan, sering dikatakan negara menjadi lemah, jika tanpa oposisi. Maknanya oposisi diperlukan agar selalu ada kontrol, ada yang senantiasa mengingatkan dalam setiap kesempatan.
Tentu, mengingatkan tentang komitmen yang pernah dikatakan, mengingatkan agar selalu berpijak kepada kepentingan rakyat, mengingatkan agar tidak terlena oleh kesempatan dan kekuasaan. Bukan mengingatkan karena didasari kekecewaaan dan ketidaksukaan.
Terkait dengan beredarnya video Presiden Joko Widodo yang terlihat marah kepada para menterinya ketika memimpin sidang kabinet paripurna tertutup pada 18 Juni lalu (video baru beredar Minggu, 28 Juni), apakah sebagai sinyal akan adanya reshuffle, masih menjadi misteri.
Meski tidak menutup kemungkinan bisa berujung ke sana.Hanya saja untuk saat ini, di masa transisi menuju, sangat dibutuhan situasi yang kondusif.
Di saat dibutuhkan kerja bareng semua pihak, baik di pemerintahan maupun non pemerintahan guna mendukung terwujudnya tata kehidupan baru, haruskah dilakukan reshuffle.
Lain halnya setelah New Normal tertata dengan baik, evaluasi total bisa dilakukan, termasuk merombak kabinet, jika memang dibutuhkan untuk menuju keadaan yang lebih baik lagi.
Reshuffle menjadi hak prerogatif Presiden, tetapi perimbangan kekuatan dan kekuasaan baik eksekuif dan legislatif tetap akan menjadi acuan kebijakan. (*)