KEGEMBIRAAN masyarakat atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengalahkan pemerintah soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan, hanya seumur jagung. Pada 9 Maret 2020, MA memutuskan membatalkan kenaikan iuran dengan mengabulkan gugatan judicial review Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Ketika itu publik menyambut gembira dan mengapresisai keputusan MA serta menganggap lembaga ini lebih manusiawi dan menjadi pahlawan di tengah lilitan ekonomi masyarakat. Tetapi pemerintah tidak tinggal diam dan tetap berupaya mempertahankan Perpres kenaikan iuran BPJS.
Rabu (13/5/2020) Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan BPJS tetap naik. Artinya, putusan MA terpatahkan. Kabar ini jadi hantaman bagi masyarakat yang semula sempat bernapas lega. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, golongan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang tidak masuk ke dalam kategori Peserta Bantuan Iuran (PBI), naiknya iuran BPJS jadi pukulan.
Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang entah kapan berakhir, ekonomi masyarakat saat ini sedang kembang kempis. Membebani masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS kesehatan, seperti tidak peka terhadap kesulitan yang dirasakan oleh rakyat.
Naiknya iuran BPJS yang sejatinya berlaku 1 Januari 2020 sesuai Perpres Nomor 75/2019, menuai kegaduhan dan gelombang protes. Itu sebabnya ketika MA mengabulkan permohonan gugatan komunitas pasien cuci darah dengan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, publik menganggap lembaga ini sebagai pahlawan.
Kini dengan putusan baru tentang tetap naikknya iuran BPJS yang kemungkinan akan diatur di dalam perpres baru, masyakarat resah. Kepada siapa lagi mereka akan bertumpu bila pemerintah tidak bisa menjadi tumpuan ? Ini yang harus dikaji oleh pemerintah.
Menaikkan iuran BPJS di tengah pandemi Covid-19 yang telah menghantam ekonomi rakyat, akan menimbulkan kegaduhan baru. Pemerintah harus peka, jangan menafikkan kondisi sosial ekonomi serta psikologis masyarakat saat ini yang sedang didera kesulitan ekonomi. **