Oleh Harmoko
"SIAPA yang tidak berbuat adil, lebih menderita daripada orang yang mengalami ketidakadilan itu."
Pepatah ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berbuat adil kepada sesama. Adil dalam ucapan dan perbuatan.
Lebih- lebih di era sekarang ini, di tengah pandemi Covid -19, yang berdampak kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Keadilan makin dibutuhkan. Keadilan menerima perlindungan, keadilan mendapatkan pelayanan kesehatan dan keadilan menerima bantuan sosial sebagai upaya memperkuat jaring pengamanan sosial.
Hanya saja mewujudkan keadilan tak semudah membalik telapak tangan. Perlu keberanian dari mereka yang ingin menerapkannya. Karena untuk memperoleh keadilan perlu didukung kebenaran. Tanpa kebenaran, keadilan sulit terwujud.
Sering dikatakan tidak ada keadilan kecuali dalam kebenaran, tidak ada kebahagiaan kecuali dalam keadilan.
Keadilan nenjadi penting direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan amanat undang-undang. Merupakan cita-cita bangsa dan negara.
Masyarakat adil adil makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur yang berkeadilan sebagai cita–cita bangsa dan negara dapat terwujud jika kebenaran dan keadilan ditegakkan.
Itulah sebabnya berani membela kebenaran dan keadilan terukir secara jelas menjadi satu dari sepuluh butir nilai–nilai sila kedua falsafah bangsa, yang wajib diamalkan.
Siapa yang mengamalkan? Jawabnya kita semua. Negara, tentu, bertanggung jawab secara keseluruhan dalam pelaksanaannya. Dari mulai mengedukasi, memfasiltasi, mengalokasikan anggaran, memberi kewenangan kepada badan/lembaga yang bertanggungjawab atas pelaksanaan hingga evaluasi.
Kita sebagai warga negara, sebagai anak bangsa ikut pula berkewajiban mengamalkan, mulai dari masing–masing individu, keluarga, dan masyarakat secara bersama–sama.
Fakta telah membuktikan kebenaran takkan terungkap jika masyarakat tak berani mengungkapnya. Kesalahan akan selamanya tersembunyi, jika kita saling menutupi.
Kuncinya terletak kepada diri kita masing–masing. Beranikah mengatakan kebenaran yang sesungguhnya meski terasa pahit untuk mengatakannya, maukah menguak kesalahan meski risiko buruk bakal dihadapi.
Para leluhur kita sering berpesan "Lakukan apa yang menurut hati nurani anda benar meskipun anda menghadapi kritikan. Anda dicela apabila mengerjakan, tetapi tetap dicela juga sekiranya anda tidak lakukan."
Sering terjadi kita tahu persis fakta yang sesungguhnya sebagai kebenaran, tetapi karena satu dan lain hal, kita tak mau mengatakannya. Begitu juga kita tahu kesalahan yang dilakukan orang lain, tapi karena satu dan lain hal, mencoba menutupi. Tahu apa yang terjadi, tetapi karena berbagai pertimbangan, pura–pura tidak tahu apa yang terjadi.
Ini manusiawi, tetapi demi kepentingan yang lebih besar, haruskah menutupi.
Tak ada seorang pun berkehendak yang benar menjadi salah, yang salah menjadi benar. Kita semua tentu tak ingin kebenaran palsu atau kesalahan palsu yang pada akhirnya akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pada gilirannya akan semakin menjauhkan dari keadilan yang sesungguhnya karena terselimuti kebenaran palsu.
Mari kita tegakkan kebenaran dan keadilan, setidaknya bagi diri sendiri. Para filsuf berpesan "Berani menegakkan keadilan walaupun mengenai diri sendiri adalah puncak dari keberanian." (*).