BAGAI makan buah simalakama. Peribahasa ini pas untuk menggambarkan nasib para perantau di Jakarta di saat virus corona (Covdid-19) masih mewabah.
Dampak masih berpetualangannya virus yang mematikan di Jakarta dan sekitarnya ini membuat Gubernur Anies Baswedan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
PSBB fase pertama diberlakukan sejak 10-23 April 2020. Tahap pertama mandul alias kurang berhasil, per 24 April, PSBB ditambah lagi 28 hari lagi alias sampai dengan 22 Mei 2020.
Agar PSBB berjalan sesuai dengan harapan, Anies pun mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Jakarta.
Pada pergub itu setidaknya ada lima larangan yakni melarang perayaan nikah dan khitanan, melarang ojek online membawa penumpang, melarang berkumpul lebih dari lima orang, melarang makan di tempat penjual, dan mengatur bertransportasi saat mengendarai kendaraan pribadi.
Bagi pelanggar PSBB dikenakan sanksi pidana dan denda. Sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tepatnya Pasal 93 disebutkan sanksi yang terberat adalah denda Rp100 juta dan hukuman kurungan 1 tahun penjara.
Tujuan diberlakukannya PSBB tentu untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Maklum sampai dengan 3 Mei 2020 warga Jakarta yang terpapar virus corona masih tinggi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah pasien positif Covid-19 secara kumulatif mencapai 4.355 orang. Dari jumlah itu, 562 orang dinyatakan sembuh dan 400 orang lainnya meninggal dunia.
Bukan saja PSBB, pemerintah juga melarang warga asal Jakarta yang nota bene zona merah Covid-19 pulang kampung. Larangan mudik tujuannya agar virus corona tidak menyebar ke kampung.
PSBB dan larangan mudik membuat para perantau bagai makan buah simalakama alias serba salah. Bertahan di Jakarta tidak produktif karena terhadang PSBB, tetapi pulang kampung saat di jalanan dirazia polisi.
Nasib perantau harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta. Artinya bila mengeluarkan kebijakan melarang mudik semestinya dibarengi dengan solusi.
Pemerintah misalnya harus mememenuhi kebutuhan perantau, sehingga mereka bisa nyaman diam di Jakarta. Bukan asal melarang tetapi kebutuhan dan biaya hidup tidak dipenuhi.
Kita tunggu solusi stakeholder mengatasi nasib perantau. @*